Minggu, 07 Mei 2017

BANK UMUM SYARIAH



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
                        Menurut UU. No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, mendifinisikan Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
            Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
Azaz perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip
syariah, dan prinsip kehati-hatian. Selain itu perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kesejahteraan rakyat. Dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan. Adapun fungsinya sebagai penghimpun dana dari masyarakat dan Baitu Mal.
            Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR.


2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan diajukan adalah:
1.      Apakah organisasi dan dasar hukum dari BUS bekerja?
2.      Apakah organisasi dan dasar hukum dari Unuit-Usaha Syariah bekerja?
3.      Apakah organisasi dan dasar hukum dari BPRS bekerja?
4.      Apa Kelebihan dan Kekurangan dari BUS, UUS, dan BPRS



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Bank Umum Syariah

            Menurut UU. No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, mendifinisikan Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan pada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada[1] syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.
            Berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bab III Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 menjelaskan asas, tujuan, dan fungsi bank syariah, sebagai berikut:

A.    Asas Perbankan Syariah
            Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, dan prinsip kehati-hatian.

B.     Tujuan Perbankan Syariah
            Perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

C.     Fungsi Perbankan Syariah

1)      Fungsi Bank Syariah untuk Menghimpun Dana Masyarakat
Fungsi bank syariah yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana. Bank syariah mengumpulkan atau menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dengan menggunakan akad al-wadiah dan dalam bentuk investasi dengan menggunakan akad al-mudharabah Al-wadiah adalah akad antara pihak pertama (masyarakat) dengan pihak kedua (bank), dimana pihak pertama menitipkan dananya kepada bank dan pihak kedua, bank merima titipan untuk dapat memanfaatkan titipan pihak pertama dalam transaksi yang diperbolehkan dalam islam. Al-mudarahbah merupakan akad antara pihak pertama yang memiliki dana kemudian menginvestasikan dananya kepada pihak lain yang mana dapat memanfaatkan dana yang investasikan dengan tujuan tertentu yang diperbolehkan dalam syariat islam.

2)      Fungsi Bank Syariah sebagai Penyalur Dana Kepada  Masyarakat
Fungsi bank syariah yang kedua ialah menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat dapat memperoleh pembiayaan dari bank syariah asalkan dapat memenuhi semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Menyalurkan[2] dana merupakan aktivitas yang sangat penting bagi bank syariah. Dalam hal ini bank syariah akan memperoleh return atas dana yang disalurkan. Return atau pendapatan yang diperoleh bank syariah atas penyaluran dana ini tergantung pada akadnya. Bank syariah menyalurkan dana kepada masyarakat dengan menggunakan
bermacam-macam akad, antara lain akad jual beli dan akad kemitraan atau kerja sama usaha. Dalamakad jual beli, maka return yang diperoleh bank atas penyaluran dananya adalah dalam bentuk margin keuntungan. Margin keuntukngan merupakan selisih antara harga jual kepada nasabah dan harga beli bank. Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas penyaluran dana kepada nasabah yang menggunakan akad kerja sama usaha adalah bagi hasil.

3)      Fungsi Bank Syariah memberikan Pelayanan Jasa Bank
Fungsi bank syariah disamping menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada masyarakat, bank syariah memberikan pelayanan jasa perbankan kepada nasabahnya. Pelayanan jasa bank syariah ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Pelayanan jasa kepada nasabah merupakan fungsi bank syariah yang ketiga. Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang dapat diberikan oleh bank syariah antara lain jasa pengiriman uang (transfer), pemindahbukuan, penagihan surat berharga dan lain sebagainya. Aktivitas pelayanan jasa merupakan aktivitas yang diharapkan oleh bank syariah untuk dapat meningkatkan pendapatan bank yang berasal dari fee atas pelayanan jasa bank. Beberapa bank berusaha untuk meningkatkan teknologi informasi agar dapat memberikan pelayanan jasa yang memuaskan nasabah. Pelayanan yang dapat memuaskan nasabah ialah pelayanan jasa yang cepat dan akurat. Harapan nasabah dalam pelayanan jasa bank ialah kecepatan dan keakuratannya. Bank syariah berlomba-lomba untuk berinovasi dalam meningkatkan kualitas produk layanan jasanya. Dengan pelayanan jasa tersebut, maka bank syariah mendapat imbalan berupa fee yang disebut fee based income.

D.    Permodalan

·         Bank Umum Syariah
            Pendirian bank umum syariah baru wajib memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut:
    Jumlah modal disetor minimal sebesar Rp. 1 trilyun. Bagi bank asing yang membuka kantor cabang syariah dana disetor minimal[3] Rp. 1 trilyun, yang dapat berupa rupiah atau valuta asing.
    Sumber dana modal disetor untuk pendirian bank umum baru tidak boleh berasal dari dana pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank atau pihak lain di Indonesia.
    Sumber dana modal disetor untuk bank baru tersebut tidak boleh berasal dari sumber yang diharamkan menurut ketentuan syariah termasuk dari dan tujuan pencucian uang (money laundering).

E.     Prinsip-prinsip Dasar Transaksi Syariah
·         Tidak boleh ada gharar ((keraguan yang merugikan).
·         Tidak boleh ada maysir (spekulasi).
·         Tidak boleh ada unsur riba (tambahan/bunga).
·         Tidak boleh memperdagangkan uang (sebagai komoditas).
    Bersifat universal.
            Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka bank syariah yang paling sesuai karena mengganti mekanisme bunga dengan prinsip bagi hasil.
F.      Produk Perbankan Syariah
            PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang produk bank syariah dan unit usaha syariah yang mengatur proses kelahiran produk perbankan syariah.

·         Proses Penerbitan Produk
Bank wajib melaporkan rencana pengeluaran produk baru kepada Bank Indonesia (pasal 2 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008).
·         Penghentian  produk
            Bank wajib menghentikan produk dalam hal: 1.bank tidak memenuhi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 atau pasal[4] ayat (3); 2. Produk tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah; 3.produk tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


·         Sanksi
            Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan dalam perundang-undangan akan dikenakan sanksi berupa surat teguran dan denda[5].

2.      Unit-Usaha Syariah

            Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
 3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)

A.    Unit Usaha Syariah

            Bank umum konvensional yang melakukan kegiaan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membuka UUS. Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Modal kerja UUS merupakan modal yang disisihkan dalam suatu rekening tersendiri yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional dan non operasional kantor cabang syariah. Besarnya modal kerja minimal sebesar Rp 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). Penyisihan modal kerja UUS dari kantor induknya, dimaksudkan agar[6] pengelolaannya tidak tercampur dengan dana kantor induknya yang beroperasional secara konvensional.

bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah kepada masyarakat diperlukan jumlah kantor bank syariah yang semakin banyak yang dapat menjangkau masyarakat secara luas termasuk memperkuat keberadaan unit usaha syariah pada bank umum konvensional;
bahwa unit usaha syariah harus berkembang secara sehat dan
dikelola secara profesional sehingga diperlukan dukungan dari
manajemen dan modal yang cukup agar dapat tumbuh secara sehat
dan tangguh (sustainable);

B.     Pemisahan Unit Usaha Syariah
            Bagian Kesatu
            Pemisahan Unit Usaha Syariah Dari Bank Umum Konvensional Pasal 40 (1) BUK yang memiliki UUS wajib memisahkan UUS menjadi BUS apabila: nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset BUK induknya; atau paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
            (2) BUK yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 41
(1) Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat dilakukan dengan cara:
a.       mendirikan BUS baru; atau
b.      mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada.
(2) Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih BUK yang memiliki UUS. (3) Pemisahan UUS dengan cara pengalihan kepada BUS yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan kepada BUS yang mempunyai hubungan kepemilikan dengan BUK yang memiliki UUS. (4) BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan BUS penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi paling kurang rasio kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM) minimal 8% (delapan persen).           (5) Dalam hal Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan BUS hasil Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan memiliki rasio Non Performing Financing (NPF) netto lebih dari 5% (lima persen) dan/atau mengakibatkan pelampauan Batas Maksimum Penyaluran Dana, maka BUS hasil Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan tersebut wajib menyelesaikannya dalam waktu 1 (satu) tahun.

3.      Bank Perkreditan Rakyat Syariah

            Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun muamalah islam.
            BPR Syariah didirikan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang[7] Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 1 (butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPR Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.

1.      Tujuan Pendirian Bprs

            Terdapat beberapa tujuan yang dikehendaki dari berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di bawah ini disampaikan tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya menyebutkan butir-butirnya saja (Sudarsono, 2004:85; Sumitro, 1997:111), keterangan tiap-tiap butir ditambahkan oleh penulis.

            Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang berada di pedesaan dan di tingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan tersebut pada umumnya ternasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah.

            Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber permodalan bagi pengembangan usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtertaan mereka.

            Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Kehadiran BPRS[8] di kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam hal tenaga ahli. Sehingga semakin banyaknya BPRS di kecamatan-kecamatan maka akan semakin banyak pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu, pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan BPRS bagi masyarakat membuka peluang usaha dan kerja yang semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPRS akan menjadi penghambat bagi lajunya urbanisasi.
            Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam BPRS ditumbuhkan nilai ta’awun (saling membantu) antara pemilik modal dengan pemilik pekerjaan. Dengan nilai ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara bank dan nasabah yang merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah. Melalui kebersamaan tersebut usaha-usaha yang yang dilakukan masyarakat dengan modal yang diberikan oleh BPRS bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pada tingkat yang lebih tinggi akan pula meningkatkan perkapita baik lokal maupun nasional.

1)      Kegiatan Usaha

            Sebagai lembaga keuangan syariah pada dasarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun demikian, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha yang sudah tercantum sebelumnya
2.      Produk-Produk Bpr Syariah


            Produk-produk yang ditawarkan BPR Syariah secara garis besar adalah :
Mobilisasi Dana Masyarakat

            Bank akan mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah, adanya fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan untuk menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji.
·         Simpanan amanah

            Bank menerima titipan amanah berupa dana infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan titipan ini adalah wadi’ah yakni titipan yang tidak menanggung resiko. Bank akan memberikan kadar profit dari bagi hasil yang didapat melalui pembiayaan kepada nasabah.

·         Tabungan wadi’ah

            Bank menerima tabungan pribadi maupun badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad penerimaan yang digunakan sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada nasabah yang dihitung harian dan dibayar setiap bulan.
·         Deposito wadi’ah / deposito mudharabah

            Bank menerima deposito berjangka pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah atau mudharabah, dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan sementara dalam jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan akad wadi’ah mendapat nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil yang diterima dalam pembiayaan nasabah setiap bulan.

·         Penyaluran Dana
a)      Pembiayaan mudharabah

            Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha) dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha menanggung kerugian dana, sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan kehilangan imbalan kerja.

b)      Pembiayaan musyarakah
            Perjanjian antara pengusaha dengan bank, dimana modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola bersama-sama. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal.

c)      Pembiayaan bai bitsaman ajil
            Proses jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian suatu barang oleh nasabah, kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang dan keuntungan yang disepakati bersama.

d)     Pembiayaan murabahah
            Perjanjian antara bank dan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh tempo).

e)      Pembiayaan qardhul hasan
            Perjanjian antara bank dan nasabah yang layak menerima pembiayaan kebajikan, dimana nasabah yang menerima hanya membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan ZIS.

f)       Pembiayaan Istishna’
            Pembiayaan dengan prinsip jual beli, dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah sesuai kriteria yang telah ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah dengan harga jual sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu serta mekanisme pembayaran/pengembalian disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.

g)      Pembiayaan Al-Hiwalah
            Penggambil alihan hutang nasabah kepada pihak ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS, dikarenakan nasabah belum mampu untuk membayar tagihan yang seharusnya digunakan untuk melunasi hutangnya. Pembiayaan ini menggunakan prinsip pengambil alihan hutang, dimana BPRS dalam hal ini akan mendapatkan ujroh/ fee dari nasabah yang besar dan cara pembayarannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

2)      Laporan Yang Wajib Dilaporkan Bprs
Dalam Ketentuan Umum
·         BPRS Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi  Laporan Bulanan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia.
·         BPRS wajib menyampaikan laporan BMPK kepada Bank Indonesia yang berisi :
·         Fasilitas kredit kepada peminjam dan kelompok peminjam yang melampaui BMPK
·         Seluruh fasilitas kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan BPR.
            Laporan tersebut wajib disampaikan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas) setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.

1)      Laporan Bulanan
            Laporan Bulanan adalah laporan keuangan dan hasil usaha yang terdiri dari neraca, laba rugi, rekening-rekening administratif dan daftar rincian pos-pos neraca dimaksud.
Laporan Bulanan BPR wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas) setelah berakhirnya bulan laporan, sementara Laporan Bulanan Gabungan bagi BPR yang memiliki Kantor Cabang selambat-lambatnya tanggal 16 (enam belas) setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
            Laporan Bulanan BPRS yang selanjutnya disebut Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh BPRS untuk kepentingan Bank Indonesia, yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan menggunakan sandi-sandi dan angka.
Laporan Bulanan yang mencakup seluruh aspek keuangan dalam BPRS antara lain :
a.       Neraca
b.      Daftar Rincian Laba Rugi
c.       Rekening Administratif
d.      Daftar Rincian dari pos-pos dalam neraca dan pos-pos tertentu dari rekening administratif serta rincian informasi penting lainnya.
2)      Rencana Kerja Tahun
Adalah rencana kegiatan dan anggaran selama 1 (satu) tahun takwim yang disusun oleh direksi atau yang setingkat serta disetujui oleh dewan komisaris.
Rencana kerja wajib disusun secara realistis dan sekurang-kurangnya memuat:
·         Rencana penghimpunan dana
·         Rencana penyaluran dana
·         Proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi yang dirinci dalam 2 (dua) semester
·         Rencana pengembangan Sumber Daya Manusia
·         Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan kinerja bank dan upaya untuk menyelesaikan perrmasalahan yang ada

            BPR wajib menyampaikan Rencana Kerja Tahunan kepada Bank Indonesia, selambat-lambatnya pada akhir bulan Januari tahun yang bersangkutan dan BPRS pelapor adalah kantor pusat BPRS.
Dalam laporan berkala ini  masih ada hal lain yang harus di parhatikan antara lain :
            BPRS pelapor wajib  memiliki sistem dan prosedur konvensi yang di tuangkan dalam suatu pedoman tertulis dan wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk, menyusun dan menyampaikan laporan bulanan.
            BPRS dimyatakan terlambat menyampaikan laporan bulanan apabiala melampaui batas waktu yang di tetapkan sampai dengan tanggal 21 bulan berikutnya setlah verkhirmya bulan laporan.
Dalam hal BPRS dibubarkan karena merger atau konsolidasi denganBPRS lain sehingga tidak lagi menjadi BPRS Pelapor, BPRS tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk data akhir bulan laporan sebelummerger atau konsolidasi.
Dalam hal BPRS masih dalam proses akuisisi dan sudah tidak beroperasilagi, BPRS Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan ke BankIndonesia.

3)      Evaluasi Kegiatan Usaha Bprs

            Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, BPR Syariah harus berdasarkan prinsip syariah Islam dalam menjalankan kegiatan operasionalnya sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Dalam penerapannya, produk perbankan syariah dirumuskan dan memperoleh persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang ditetapkan pemerintah untuk merekomendasikan produk perbankan syariah telah sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah khususnya BPRS masih memerlukan penyempurnaan, terutama dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip syariah secara utuh.

            Hal ini dirasakan seperti dalam penerapan produk piutang murabahah, dimana perjanjian antara bank dengan nasabah terkait dengan perjanjian jual beli atas sesuatu barang untuk nasabah. Pihak bank telah mempelajari dengan seksama pengajuan permintaan kebutuhan barang untuk mendukung kegiatan nasabah, menyetujui permintaan nasabah untuk membeli barang dan menjual kepada nasabah dengan harga sesuai dengan harga pokok penjualan ditambah margim keuntungan yang diminta pihak bank.

Dalam pelaksanaannya, BPRS mengalami kesulitan dalam memenuhi ketentuan fatwa DSN ketika dalam transaksi piutang murabahah pihak bank masih memberikan uang bukan barang, lalu mempercayakan kepada nasabah untuk membeli barang yang dikehendaki sesuai jenis dan spesifikasi yang telah disepakati.
            Hal ini masih terkesan bahwa BPRS memberikan pinjaman uang dan bukan membelikan barang. Kesulitan teknis pada transaksi pembelian barang sesuai kebutuhan nasabah yang melibatkan pihak ketiga/supplier diharapkan dapat diminimalisir dengan terjalinnya kerjasama dengan pihak ketiga/supplier sebagai mitra usaha BPRS dalam menyediakan barang-barang kebutuhan nasabah. Namun, kendala dan permasalahan tersebut diharapkan dapat teratasi manakala ada komitmen yang kuat dari stakeholders pengurus bank untuk secara konsisten dan istiqamah menjalankan kegiatan usaha dan perjanjian sesuai syariah Islam dan sesuai fatwa DSN.

            Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS secara kaffah sesuai syariah Islam mutlak dilakukan, karena justru dengan demikian kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah akan semakin meningkat, bukan sebaliknya. Menganggap pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah sama dengan kegiatan usaha bank konvensional.

            Sangat tepat jika cetak biru perkembangan perbankan syariah yang disiapkan oleh biro Perbankan Syariah Bank Indonesia telah menggariskan kebijakan stategis dan objektif sampai tahun 2004, yakni mendorong perbankan syariah untuk mematuhi dan melaksanakan kegiatan operasional sesuai syariah secara konsisten.

            Dalam presefktif syariah, jika kegiatan usaha perbankan syariah dilaksanakan semata-mata sesuai ketentuan syariah, maka diharapkan usaha tersebut akan memperoleh ridho dari Allah SWT dan memberikan kemaslahatan bagi seluluh umat.

            Selain itu dalam pertumbuhannya juga, operasionalisasi perbankan syariah masih bertumpu pada aturan-aturan yang diterapkan dalam bank konvensional karena industri perbankan konvensional telah berkembang selama 3 abad  dan perbankan syariah baru tumbuh dalam tiga dekade terakhir. Walaupun disadari bahwa perbankan syariah berbeda secara sistem dari bank konvensional, baik menyangkut sistem operasional dan beberapa produk perbankan yang sangat spesifik terkait dengan syariah Islam. Dalam perbankan konvensional peminjaman uang dalam bentuk kredit dengan mengambil bunga tertentu diperbolehkan, namun untuk bank syariah peminjaman uang tidak boleh ada nilai lebih.

            Artinya jika nasabah diberi pinjaman seribu rupiah maka harus kembali seribu rupiah, tidak boleh ada lebih, karena kelebihan pembayaran tersebut dikategorikan riba. Hal-hal semacam ini menunjukkan perlakukan yang berbeda sekaligus membutuhkan pemahaman atas pengawasan yang berbeda.

            Regulasi sistem pengawasan atas bank syariah masih banyak mendasarkan pada pola bank konvensional. Kondisi ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena perkembangan bank syariah tidak mulus. Bank Syariah pertama dimulai di Mesir pada tahun 1963 dalam bentuk bank tabungan pedesaan dan ditutup tahun 1973 karena alasan politis. Di Pakistan didirikan bank koperasi dengan dasar syariah namun pada bulan Juni 1965 bank tersebut ditutup disebabkan karena salah dalam pengelolaan dan kurangnya supervisi resmi. Baru pada tahun 1975, Dubai Islamic Bank menjadi pelopor dalam peletakan awal sendi-sendi perbankan syariah di dunia. Setelah pendirian tersebut, tercatat sampai akhir tahun 1996 telah didirikan lebih dari 166 lembaga keuangan syariah atas prakarsa swasta maupun pemerintah (Chapra,2001:228-229). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari perkembangan perbankan syariah internasional. Sejak adanya perbaikan dalam undang-undang perbankan pasca Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Hal tersebut ditunjukkan dengan asset bank syariah pada tahun 1993 sebesar Rp460 miliar, tahun 1998 sebesar Rp600 miliar dan pada September 2004 telah menjadi Rp12 triliun (Idat:2005).

            Dibalik perkembangan aset yang menggembirakan tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa perkembangan perbankan syariah merupakan suatu eforia reformasi. Eforia perkembangan yang pesat merupakan perkembangan yang semu dan berbahaya bila tidak dilandasi kerangka kelembagaan dan pengaturan yang memadai dari aspek best practices. Kerangka kelembagaan dan pengaturan yang tidak memadai rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan yang senantiasa mengintai industri perbankan nasional.

            Sejarah pengaturan dan pengawasan perbankan di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan untuk mengembangkan perbankan nasional sekaligus untuk menanggulangi kejahatan perbankan yang menyertainya.

            Pengawasan bank melalui audit terhadap bank pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kantor Akuntan Publik termasuk oleh Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun, mengapa dengan berbagai upaya tersebut, pembobolan yang mencolok mata tetap terjadi.

            Pembobolan Bank BNI melalui transaksi L/C fiktif, yang nilainya mencapai di atas Rp1 triliun, terjadinya permainan atau pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate Document) di Bank Mandiri, merefleksikan pengawasan bank yang belum berjalan sebagaimana mestinya (Bisnis Indonesia, 27/10/2003).

            Fakta-fakta di atas menimbulkan pertanyaan apakah Bank Indonesia sebagai pengatur bank di Indonesia mampu melakukan pengaturan yang efektif terhadap perbankan syariah. Kasus-kasus kejahatan perbankan seperti di atas, bukan tidak mungkin dapat menimpa perbankan syariah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penelitian dan kajian manajemen risiko bukan hanya untuk BI tetapi juga untuk manajemen bank itu sendiri. Perlu usaha bersama dari berbagai pihak agar di dapatkan model manajemen risiko yang lebih sesuai dengan bank syariah.

3.      Kegiatan Yang Dilarang (Berdasarkan Pasal 14 Uu No.17 Tahun 1992)

a.       Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
b.      Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
c.       Melakukan penyertaan modal
d.      Melakukan usaha perasuransian
e.       Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
e.disebutkan pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS


4)      arapan Pengembangan Usaha Bprs Dimasa Mendatang

    1. Peningkatan Kegiatan Sosialisasi Produk dan Jasa Perbankan Syariah ke seluruh Lapisan Masyarakat

            Sosialisasi produk perbankan syariah masih dirasakan sangat kurang. Merujuk hasil penelitian kinerja industry BPRS di Indonesia yang diselenggarakan oleh biro perbankan syariah Bank Indonesia tahun 2002, diperoleh gambaran bahwa pemahaman masyarakat terhadap kegiatan operasional bank syariah khususnya dan konsep keuamgam syariah pada umunya masih perlu ditingkatkan.

            Media promosi produk dan kegiatan operasional perbankan syariah pada umumnya baru sebatas penyediaan brosur, melalui pelayanan dan pemasaran langsung petugas bank dengan pelayanan jemput bola, dan memanfaatkan peran alim ulama serta tokoh masyarakat dalam memasarkan produk perbankan  syariah. Penggunaan medis cetak dan elektronik tampaknya belum menjadi alternative promosi bagi BPRS. Dana promosi yang terbatas yang dialokasikan dalam anggaran belanja BPRS terkait dengan masih kecilnya skala operasional BPRS itu sendiri.

            Perlu kiranya dipikirkan kegiatan promosi bersana yang diselenggarakan atas partisipasi segenap unsure perbankan syariah, industry keuangan syariah, lembaga penunjang lainnya dan semua pihak agar perbankan syariah dan kegiatan investasi sesuai syariah lainnya dikenal luas oleh masyarakat.

    2. Teciptanya Altenatif Sumber Pendanaan dan Peningkatan Kemampuan Permodalan BPRS

            Pada tahun 1988, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pembiayaan likuiditas bagi BPRS dalam bentuk pembiayaan Modal Kerja (PMK-BPRS) dan pembiayaan bagi Pengusa Kecil dan Mikro (PPMK) dengan plafon sebesar maksimal satu kali jumlah modal disetor BPRS untuk kategori BPRS yang berturut-turut sehat selama dua tahun terakhir. Tetapi dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999, maka Bank Indonesia tidak diperkenankan menyalurkan pembiayaan likuiditas kepada perbankan, dan mengalihkannya kepada lembaga lain yang dirujuk oleh pemerintah dan Bank Indonesia.

            Fasiliatas pembiayaan modal kerja bagi perkembangan BRPS dan fasilitas pembiayaan likuiditas Bank Indonesia tersebut betul-betul dirasakan manfaatnya bagi BPRS, terutama untuk memenuhi permintaan pembiayaan mudal kerja dari nasabah pengusaha kecil dan mikro, sesuai arah dan sasaran yang hendak dicapai untuk pengembangan usaha ekonoi produktif yang dikembangkan pengusaha kecil dan mikro di pedesaan.

            Sejak dialihkannya penyediaan fasilitas pembiayaan tesebut dari Bank Indonesia kepada lembaga lain, akses BPRS untuk memperoleh sumber pendanaan selain dari penghimpunan dana dari masyarakat lebih banyak diperoleh dari kerjasama pembiayaan dengan bank umum syariah untuk membiayai kebutuhan modal kerja nasabah BPRS lemahnya sumber pendanaan BPRS juga karena kesulitan BPRS itu sendiri untuk mengakses sumber pendanaan dari lembaga dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membatasi penempatan investasinya hanya di bank umum atau bank pemerintah lainnya.

            Sementara itu kemampuan para pemegang saham dalam meningkatkan struktur permodalan bank terutama dalam rangka mengimbangi peningkatan dan perkembagan  usaha bank juga masih belum diharapkan. Keadaan ini mungkin sejalan dengan keadaan perekonomian nasional secara makro pada saat ini yang belum pulih sesuai yang diharapkan. Kesulitan sumber pendanaan bagi BPRS ini dapat dibantu dengan melonggarkan kewajiban investasi dari badan usaha milik pemerintah dan swasta dan memberikan peluang berinvestasi d BPRS, dengan tetap memperhatikan prinsp-prisip dan kaidah investasi yang aman dan menguntungkan.

            Kebijakan penyaluran pembiayaan usaha kecilm s\dari penyisihan 5% dari laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi dalam rangka pengembangan usahanya, kiranya dapat disalurkan melalui BPRS sebagai dana bergulir. Dengan demikian efektivitas penyaluran pembiayaan tersebut diharapkan lebih meningkat.

4.      Kelebihan dan Kekurangan BUS, UUS, dan BPRS

BUS
Kelebihan dari BUS adalah pertama, kelebihan bank syariah terutama pada kuatnya ikatan emosional keagamaan antara pemegang saham,pengelola bank,dan nasabahnya.Dari ikatan emosional inilah dapat dikembangkan kebersamaan dalam menghadapi risiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil.
Kedua, dengan adanya keterikatan secara religi,maka semua pihak yang terlibat dalam bank Islam adalah berusaha sebaik-baiknya dengan pengalaman ajaran agamanya sehingga berapa pun hasil yang diperoleh diyakini membawa berkah. Ketiga, adanya Fasilitas pembiayaan (al=mudharabah dan al-musyarakah) yang tidak membebani nasabah sejak awal dengan kewajiban membayar biaya secara tetap.hai ini adalah memberikan kelonggaran psikologis yang diperlukan nasabah untuk dapat berusaha secara tenang dan sungguh-sungguh.
Keempat, dengan adanya sistem bagi hasil, untuk penyimpan dana setelah tersedia peringatan dini tentang keadaan banknya yang bias diketahui sewaktu-waktu dari naik turunnya jumlah bagi hasil yang diterima. Kelima, penerapan sistem bagi hasil dan ditinggalkannya sistem bunga menjadikan bank Islam lebih mandiri dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Kekurangannya adalah pertama, Kelemahan bank syariah adalah bahwa bank dengan sisem ini terlalu berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam bank Islam adalah jujur.Dengan demikian bank Islam sangat rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik,sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari bank syariah.
Kedua, sistem bagi hasil memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di bank tidak tetap.Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bias terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar dari bank konvensional.
Ketiga, Karena bank ini membawa misi bagi hasil yang adil,maka bank Islam lebih memerlukan tenaga-tenaga profesionan yang andal dari pada bank konvensional. Kekeliruan dalam menilaui proyek yang akan dibiayai bank dengan system bagi hasil akan membawa akibat yang lebih besar daripada yang dihadapi bank konvensional yang hasil pendapatannya sudah tetap dari bunga.
UUS
Kelebihan Unit usaha syariah hampir memiliki keunggulan yang sama dengan Bank Umum Syariah, hanya saja karena Unit Usaha Syariah ini dibawah Bank Konvensional mereka memiliki modal yang lebih siap.
            Kekurangan sama dengan BUS karena produk yang ditawarkanya pun sama dengan BUS.
BPRS
Kelebihan dari BPRS adalah khususnya dalam pendekatan kepada nasabah. Pendekatan kepada nasabah yang diterapkan sangat personal. Menyederhanakan prosedur bagi nasabah yang hendak melakukan atau menggunakan jasa. Seperti misalnya, dalam memberikan pinjaman atau pembiayaan. Persyaratan yang diajukan kepada nasabah tetap ada tetapi tidak perlu serumit dengan bank-bank umum. Hal ini agar terbina hubungan baik antara bank dengan debitornya. Karena disinilah kekuatan dari lembaga-lembaga dapat bertahan, yaitu dengan mengandalkan kepercayaan yang terjalin antara kedua belah pihak.
Kekuranganya adalah tidak dapat menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing, melakukan penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian, melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS.








BAB III
PENUTUP
            Bahwasanya BUS, UUS, dan BPRS adalah sebuah organisasi atau lembaga keuangan yang bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan berlandaskan Al-Quran dan Hadist.

            Adapun fungsi ketiganya adalah sebagai wadah, pengelola dan juga sebagai penyalur dana dari masyarakat. Yang mereka jaga dana tersebut untuk menjaga kepercayaan dari masyarakat karena hubungan kedua sebagai mitra.

            Dalam kegiatan tersebut ketiga organisasi atau lembaga keuangan ini dalam kegiatanya dilindungi sekaligus tunduk terhadap perundang-undangan, jadi kegiatan dan juga produk-produk yang mereka tawarkan sudah sesuai dari prinsip syariah.

            Mereka tidak dapat menawarkan produk yang belum disahkan atau belum di ijinkan oleh lembaga yang menaungi mereka, dan hukuman bagi yang melanggar akan diberi sanksi berupa surat teguran dan juga denda.

DAFTAR PUSTAKA
Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah, PT.Raja Grafindo Persada, jakarta 2009.
Ismail, Perbankan Syariah. Penerbit Kencana Prenada Media Group : Jakarta 2010.


[1] Ismail, Perbankan Syariah. (Penerbit Kencana Prenada Media Group : Jakarta 2010).h.78-79
[2] Ibid, Ismail, Perbankan Syariah, h.79
[4] Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah, PT.Raja Grafindo Persada, jakarta 2009, hal. 88-91
[7] Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah, PT.Raja Grafindo Persada, jakarta 2009, h. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar