BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Menurut
UU. No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, mendifinisikan Bank Umum
Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
Unit Usaha Syariah adalah unit kerja
dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
Azaz perbankan syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya berasaskan prinsip
syariah,
dan prinsip kehati-hatian. Selain itu perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional kesejahteraan rakyat. Dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan. Adapun fungsinya sebagai penghimpun dana dari
masyarakat dan Baitu Mal.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah
lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito
berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan menyalurkan
dana sebagai usaha BPR.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah
yang akan diajukan adalah:
1.
Apakah organisasi dan dasar hukum dari BUS bekerja?
2.
Apakah organisasi dan dasar hukum dari Unuit-Usaha
Syariah bekerja?
3.
Apakah organisasi dan dasar hukum dari BPRS bekerja?
4.
Apa Kelebihan dan Kekurangan dari BUS, UUS, dan
BPRS
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Bank Umum Syariah
Menurut UU. No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, mendifinisikan Bank Umum Syariah adalah bank syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank
Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam dan dalam
kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah.
Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan pada nasabah
tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak
bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada[1]
syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.
Berdasarkan Undang-Undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bab III Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4
menjelaskan asas, tujuan, dan fungsi bank syariah, sebagai berikut:
A.
Asas Perbankan Syariah
Perbankan syariah dalam melakukan
kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, dan prinsip kehati-hatian.
B.
Tujuan Perbankan Syariah
Perbankan syariah bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
C.
Fungsi Perbankan Syariah
1)
Fungsi Bank Syariah untuk Menghimpun Dana Masyarakat
Fungsi
bank syariah yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan
dana. Bank syariah mengumpulkan atau menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk titipan dengan menggunakan akad al-wadiah dan dalam bentuk investasi
dengan menggunakan akad al-mudharabah Al-wadiah adalah akad antara pihak
pertama (masyarakat) dengan pihak kedua (bank), dimana pihak pertama menitipkan
dananya kepada bank dan pihak kedua, bank merima titipan untuk dapat
memanfaatkan titipan pihak pertama dalam transaksi yang diperbolehkan dalam
islam. Al-mudarahbah merupakan akad antara pihak pertama yang memiliki dana
kemudian menginvestasikan dananya kepada pihak lain yang mana dapat
memanfaatkan dana yang investasikan dengan tujuan tertentu yang diperbolehkan
dalam syariat islam.
2)
Fungsi Bank Syariah sebagai Penyalur Dana
Kepada Masyarakat
Fungsi
bank syariah yang kedua ialah menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan.
Masyarakat dapat memperoleh pembiayaan dari bank syariah asalkan dapat memenuhi
semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Menyalurkan[2]
dana merupakan aktivitas yang sangat penting bagi bank syariah. Dalam hal ini
bank syariah akan memperoleh return atas dana yang disalurkan. Return atau
pendapatan yang diperoleh bank syariah atas penyaluran dana ini tergantung pada
akadnya. Bank syariah menyalurkan dana kepada masyarakat dengan menggunakan
bermacam-macam
akad, antara lain akad jual beli dan akad kemitraan atau kerja sama usaha.
Dalamakad jual beli, maka return yang diperoleh bank atas penyaluran dananya
adalah dalam bentuk margin keuntungan. Margin keuntukngan merupakan selisih
antara harga jual kepada nasabah dan harga beli bank. Pendapatan yang diperoleh
dari aktivitas penyaluran dana kepada nasabah yang menggunakan akad kerja sama
usaha adalah bagi hasil.
3)
Fungsi Bank Syariah memberikan Pelayanan Jasa
Bank
Fungsi
bank syariah disamping menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada masyarakat,
bank syariah memberikan pelayanan jasa perbankan kepada nasabahnya. Pelayanan
jasa bank syariah ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam menjalankan aktivitasnya. Pelayanan jasa kepada nasabah merupakan fungsi
bank syariah yang ketiga. Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang dapat
diberikan oleh bank syariah antara lain jasa pengiriman uang (transfer),
pemindahbukuan, penagihan surat berharga dan lain sebagainya. Aktivitas
pelayanan jasa merupakan aktivitas yang diharapkan oleh bank syariah untuk
dapat meningkatkan pendapatan bank yang berasal dari fee atas pelayanan jasa
bank. Beberapa bank berusaha untuk meningkatkan teknologi informasi agar dapat
memberikan pelayanan jasa yang memuaskan nasabah. Pelayanan yang dapat
memuaskan nasabah ialah pelayanan jasa yang cepat dan akurat. Harapan nasabah
dalam pelayanan jasa bank ialah kecepatan dan keakuratannya. Bank syariah
berlomba-lomba untuk berinovasi dalam meningkatkan kualitas produk layanan
jasanya. Dengan pelayanan jasa tersebut, maka bank syariah mendapat imbalan
berupa fee yang disebut fee based income.
D.
Permodalan
·
Bank Umum Syariah
Pendirian bank umum syariah baru
wajib memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut:
Jumlah modal disetor minimal sebesar Rp. 1
trilyun. Bagi bank asing yang membuka kantor cabang syariah dana disetor
minimal[3]
Rp. 1 trilyun, yang dapat berupa rupiah atau valuta asing.
Sumber dana modal disetor untuk pendirian
bank umum baru tidak boleh berasal dari dana pinjaman atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari bank atau pihak lain di Indonesia.
Sumber dana modal disetor untuk bank baru
tersebut tidak boleh berasal dari sumber yang diharamkan menurut ketentuan
syariah termasuk dari dan tujuan pencucian uang (money laundering).
E.
Prinsip-prinsip Dasar Transaksi Syariah
·
Tidak boleh ada gharar ((keraguan yang
merugikan).
·
Tidak boleh ada maysir (spekulasi).
·
Tidak boleh ada unsur riba (tambahan/bunga).
·
Tidak boleh memperdagangkan uang (sebagai
komoditas).
Bersifat universal.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut
di atas, maka bank syariah yang paling sesuai karena mengganti mekanisme bunga
dengan prinsip bagi hasil.
F.
Produk Perbankan Syariah
PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang
produk bank syariah dan unit usaha syariah yang mengatur proses kelahiran
produk perbankan syariah.
·
Proses Penerbitan Produk
Bank
wajib melaporkan rencana pengeluaran produk baru kepada Bank Indonesia (pasal 2
ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008).
·
Penghentian
produk
Bank wajib menghentikan produk dalam
hal: 1.bank tidak memenuhi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 atau pasal[4]
ayat (3); 2. Produk tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah; 3.produk
tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Sanksi
Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak
mematuhi ketentuan dalam perundang-undangan akan dikenakan sanksi berupa surat
teguran dan denda[5].
2.
Unit-Usaha Syariah
Unit Usaha Syariah adalah unit kerja
dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
3. Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4756)
A.
Unit Usaha Syariah
Bank umum konvensional yang
melakukan kegiaan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membuka UUS.
Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Modal kerja UUS
merupakan modal yang disisihkan dalam suatu rekening tersendiri yang dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan operasional dan non operasional kantor
cabang syariah. Besarnya modal kerja minimal sebesar Rp 100.000.000.000,-
(seratus miliar rupiah). Penyisihan modal kerja UUS dari kantor induknya,
dimaksudkan agar[6]
pengelolaannya tidak tercampur dengan dana kantor induknya yang beroperasional
secara konvensional.
bahwa
dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah kepada masyarakat
diperlukan jumlah kantor bank syariah yang semakin banyak yang dapat menjangkau
masyarakat secara luas termasuk memperkuat keberadaan unit usaha syariah pada bank
umum konvensional;
bahwa
unit usaha syariah harus berkembang secara sehat dan
dikelola
secara profesional sehingga diperlukan dukungan dari
manajemen
dan modal yang cukup agar dapat tumbuh secara sehat
dan
tangguh (sustainable);
B.
Pemisahan Unit Usaha Syariah
Bagian Kesatu
Pemisahan Unit Usaha Syariah Dari
Bank Umum Konvensional Pasal 40 (1) BUK yang memiliki UUS wajib memisahkan UUS
menjadi BUS apabila: nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari
total nilai aset BUK induknya; atau paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) BUK yang memiliki UUS dapat
memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini. Pasal 41
(1)
Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat dilakukan
dengan cara:
a.
mendirikan BUS baru; atau
b.
mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS
yang telah ada.
(2)
Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan
oleh 1 (satu) atau lebih BUK yang memiliki UUS. (3) Pemisahan UUS dengan cara
pengalihan kepada BUS yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat dilakukan kepada BUS yang mempunyai hubungan kepemilikan dengan BUK
yang memiliki UUS. (4) BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan BUS penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
paling kurang rasio kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM) minimal 8%
(delapan persen). (5) Dalam hal
Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan BUS hasil
Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan memiliki rasio Non Performing Financing
(NPF) netto lebih dari 5% (lima persen) dan/atau mengakibatkan pelampauan Batas
Maksimum Penyaluran Dana, maka BUS hasil Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan
tersebut wajib menyelesaikannya dalam waktu 1 (satu) tahun.
3.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga keuangan
perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah
ataupun muamalah islam.
BPR
Syariah didirikan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang[7]
Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 1 (butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPR
Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah. Secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan
sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip
syariah.
1.
Tujuan Pendirian Bprs
Terdapat beberapa tujuan yang
dikehendaki dari berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di bawah
ini disampaikan tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya menyebutkan
butir-butirnya saja (Sudarsono, 2004:85; Sumitro, 1997:111), keterangan
tiap-tiap butir ditambahkan oleh penulis.
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi
umat Islam terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah yang pada umumnya berada
di daerah pedesaan. Sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang berada di
pedesaan dan di tingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan tersebut
pada umumnya ternasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah.
Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber
permodalan bagi pengembangan usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah,
sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtertaan
mereka.
Menambah lapangan kerja terutama di
tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Kehadiran BPRS[8]
di kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang
memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam hal tenaga ahli.
Sehingga semakin banyaknya BPRS di kecamatan-kecamatan maka akan semakin banyak
pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu, pembiayaan-pembiayaan
yang disalurkan BPRS bagi masyarakat membuka peluang usaha dan kerja yang
semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPRS akan menjadi penghambat bagi
lajunya urbanisasi.
Membina ukhuwah Islamiyah melalui
kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas
hidup yang memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam BPRS ditumbuhkan nilai
ta’awun (saling membantu) antara pemilik modal dengan pemilik pekerjaan. Dengan
nilai ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara bank dan nasabah yang
merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah. Melalui
kebersamaan tersebut usaha-usaha yang yang dilakukan masyarakat dengan modal
yang diberikan oleh BPRS bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pada
tingkat yang lebih tinggi akan pula meningkatkan perkapita baik lokal maupun
nasional.
1)
Kegiatan Usaha
Sebagai lembaga keuangan syariah
pada dasarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat memberikan jasa-jasa
keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun demikian, sesuai UU
Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha yang
sudah tercantum sebelumnya
2.
Produk-Produk Bpr Syariah
Produk-produk yang ditawarkan BPR
Syariah secara garis besar adalah :
Mobilisasi
Dana Masyarakat
Bank akan mengerahkan dana
masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah, adanya
fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan untuk
menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji.
·
Simpanan amanah
Bank menerima titipan amanah berupa
dana infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan titipan ini adalah wadi’ah
yakni titipan yang tidak menanggung resiko. Bank akan memberikan kadar profit
dari bagi hasil yang didapat melalui pembiayaan kepada nasabah.
·
Tabungan wadi’ah
Bank menerima tabungan pribadi
maupun badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad penerimaan yang digunakan
sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada nasabah yang
dihitung harian dan dibayar setiap bulan.
·
Deposito wadi’ah / deposito mudharabah
Bank menerima deposito berjangka
pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah atau mudharabah, dimana
bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan sementara dalam jangka 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan akad wadi’ah
mendapat nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil
yang diterima dalam pembiayaan nasabah setiap bulan.
·
Penyaluran Dana
a)
Pembiayaan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana
(pengusaha) dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut
rasio sesuai dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha
menanggung kerugian dana, sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan
kehilangan imbalan kerja.
b)
Pembiayaan musyarakah
Perjanjian antara pengusaha dengan
bank, dimana modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola
bersama-sama. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan
awal.
c)
Pembiayaan bai bitsaman ajil
Proses jual beli antara bank dan
nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian suatu barang oleh nasabah,
kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang dan keuntungan yang
disepakati bersama.
d)
Pembiayaan murabahah
Perjanjian antara bank dan nasabah,
dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja
yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga
jual bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh tempo).
e)
Pembiayaan qardhul hasan
Perjanjian antara bank dan nasabah
yang layak menerima pembiayaan kebajikan, dimana nasabah yang menerima hanya
membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan ZIS.
f)
Pembiayaan Istishna’
Pembiayaan dengan prinsip jual beli,
dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah sesuai kriteria yang telah
ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah dengan harga jual sesuai
kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu serta mekanisme pembayaran/pengembalian
disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.
g)
Pembiayaan Al-Hiwalah
Penggambil alihan hutang nasabah
kepada pihak ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS, dikarenakan nasabah belum
mampu untuk membayar tagihan yang seharusnya digunakan untuk melunasi
hutangnya. Pembiayaan ini menggunakan prinsip pengambil alihan hutang, dimana
BPRS dalam hal ini akan mendapatkan ujroh/ fee dari nasabah yang besar dan cara
pembayarannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
2)
Laporan Yang Wajib Dilaporkan Bprs
Dalam
Ketentuan Umum
·
BPRS Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran
dan kelengkapan isi Laporan Bulanan
serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia.
·
BPRS wajib menyampaikan laporan BMPK kepada
Bank Indonesia yang berisi :
·
Fasilitas kredit kepada peminjam dan kelompok
peminjam yang melampaui BMPK
·
Seluruh fasilitas kredit kepada pihak-pihak
yang terkait dengan BPR.
Laporan tersebut wajib disampaikan
setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas) setelah berakhirnya
bulan laporan yang bersangkutan.
1)
Laporan Bulanan
Laporan Bulanan adalah laporan
keuangan dan hasil usaha yang terdiri dari neraca, laba rugi, rekening-rekening
administratif dan daftar rincian pos-pos neraca dimaksud.
Laporan
Bulanan BPR wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas)
setelah berakhirnya bulan laporan, sementara Laporan Bulanan Gabungan bagi BPR
yang memiliki Kantor Cabang selambat-lambatnya tanggal 16 (enam belas) setelah
berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
Laporan Bulanan BPRS yang
selanjutnya disebut Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh
BPRS untuk kepentingan Bank Indonesia, yang disajikan menurut sistematika yang
ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta
dilaporkan dengan menggunakan sandi-sandi dan angka.
Laporan
Bulanan yang mencakup seluruh aspek keuangan dalam BPRS antara lain :
a.
Neraca
b.
Daftar Rincian Laba Rugi
c.
Rekening Administratif
d.
Daftar Rincian dari pos-pos dalam neraca dan
pos-pos tertentu dari rekening administratif serta rincian informasi penting
lainnya.
2)
Rencana Kerja Tahun
Adalah
rencana kegiatan dan anggaran selama 1 (satu) tahun takwim yang disusun oleh
direksi atau yang setingkat serta disetujui oleh dewan komisaris.
Rencana
kerja wajib disusun secara realistis dan sekurang-kurangnya memuat:
·
Rencana penghimpunan dana
·
Rencana penyaluran dana
·
Proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi yang
dirinci dalam 2 (dua) semester
·
Rencana pengembangan Sumber Daya Manusia
·
Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan
kinerja bank dan upaya untuk menyelesaikan perrmasalahan yang ada
BPR wajib menyampaikan Rencana Kerja
Tahunan kepada Bank Indonesia, selambat-lambatnya pada akhir bulan Januari
tahun yang bersangkutan dan BPRS pelapor adalah kantor pusat BPRS.
Dalam
laporan berkala ini masih ada hal lain
yang harus di parhatikan antara lain :
BPRS pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konvensi yang di
tuangkan dalam suatu pedoman tertulis dan wajib menunjuk petugas dan penanggung
jawab untuk, menyusun dan menyampaikan laporan bulanan.
BPRS dimyatakan terlambat
menyampaikan laporan bulanan apabiala melampaui batas waktu yang di tetapkan
sampai dengan tanggal 21 bulan berikutnya setlah verkhirmya bulan laporan.
Dalam
hal BPRS dibubarkan karena merger atau konsolidasi denganBPRS lain sehingga
tidak lagi menjadi BPRS Pelapor, BPRS tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan
untuk data akhir bulan laporan sebelummerger atau konsolidasi.
Dalam
hal BPRS masih dalam proses akuisisi dan sudah tidak beroperasilagi, BPRS
Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan ke BankIndonesia.
3)
Evaluasi Kegiatan Usaha Bprs
Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, BPR Syariah harus berdasarkan prinsip syariah Islam dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an dan
hadits. Dalam penerapannya, produk perbankan syariah dirumuskan dan memperoleh
persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang ditetapkan
pemerintah untuk merekomendasikan produk perbankan syariah telah sesuai dengan
ketentuan syariah. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah khususnya
BPRS masih memerlukan penyempurnaan, terutama dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Hal ini dirasakan seperti dalam
penerapan produk piutang murabahah, dimana perjanjian antara bank dengan
nasabah terkait dengan perjanjian jual beli atas sesuatu barang untuk nasabah.
Pihak bank telah mempelajari dengan seksama pengajuan permintaan kebutuhan
barang untuk mendukung kegiatan nasabah, menyetujui permintaan nasabah untuk
membeli barang dan menjual kepada nasabah dengan harga sesuai dengan harga
pokok penjualan ditambah margim keuntungan yang diminta pihak bank.
Dalam
pelaksanaannya, BPRS mengalami kesulitan dalam memenuhi ketentuan fatwa DSN
ketika dalam transaksi piutang murabahah pihak bank masih memberikan uang bukan
barang, lalu mempercayakan kepada nasabah untuk membeli barang yang dikehendaki
sesuai jenis dan spesifikasi yang telah disepakati.
Hal ini masih terkesan bahwa BPRS
memberikan pinjaman uang dan bukan membelikan barang. Kesulitan teknis pada
transaksi pembelian barang sesuai kebutuhan nasabah yang melibatkan pihak
ketiga/supplier diharapkan dapat diminimalisir dengan terjalinnya kerjasama
dengan pihak ketiga/supplier sebagai mitra usaha BPRS dalam menyediakan
barang-barang kebutuhan nasabah. Namun, kendala dan permasalahan tersebut
diharapkan dapat teratasi manakala ada komitmen yang kuat dari stakeholders
pengurus bank untuk secara konsisten dan istiqamah menjalankan kegiatan usaha
dan perjanjian sesuai syariah Islam dan sesuai fatwa DSN.
Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS
secara kaffah sesuai syariah Islam mutlak dilakukan, karena justru dengan
demikian kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah akan semakin
meningkat, bukan sebaliknya. Menganggap pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah
sama dengan kegiatan usaha bank konvensional.
Sangat tepat jika cetak biru
perkembangan perbankan syariah yang disiapkan oleh biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia telah menggariskan kebijakan stategis dan objektif sampai tahun 2004,
yakni mendorong perbankan syariah untuk mematuhi dan melaksanakan kegiatan
operasional sesuai syariah secara konsisten.
Dalam presefktif syariah, jika
kegiatan usaha perbankan syariah dilaksanakan semata-mata sesuai ketentuan
syariah, maka diharapkan usaha tersebut akan memperoleh ridho dari Allah SWT
dan memberikan kemaslahatan bagi seluluh umat.
Selain itu dalam pertumbuhannya
juga, operasionalisasi perbankan syariah masih bertumpu pada aturan-aturan yang
diterapkan dalam bank konvensional karena industri perbankan konvensional telah
berkembang selama 3 abad dan perbankan
syariah baru tumbuh dalam tiga dekade terakhir. Walaupun disadari bahwa
perbankan syariah berbeda secara sistem dari bank konvensional, baik menyangkut
sistem operasional dan beberapa produk perbankan yang sangat spesifik terkait
dengan syariah Islam. Dalam perbankan konvensional peminjaman uang dalam bentuk
kredit dengan mengambil bunga tertentu diperbolehkan, namun untuk bank syariah
peminjaman uang tidak boleh ada nilai lebih.
Artinya jika nasabah diberi pinjaman
seribu rupiah maka harus kembali seribu rupiah, tidak boleh ada lebih, karena
kelebihan pembayaran tersebut dikategorikan riba. Hal-hal semacam ini
menunjukkan perlakukan yang berbeda sekaligus membutuhkan pemahaman atas
pengawasan yang berbeda.
Regulasi sistem pengawasan atas bank
syariah masih banyak mendasarkan pada pola bank konvensional. Kondisi ini tidak
dapat sepenuhnya disalahkan karena perkembangan bank syariah tidak mulus. Bank
Syariah pertama dimulai di Mesir pada tahun 1963 dalam bentuk bank tabungan
pedesaan dan ditutup tahun 1973 karena alasan politis. Di Pakistan didirikan
bank koperasi dengan dasar syariah namun pada bulan Juni 1965 bank tersebut
ditutup disebabkan karena salah dalam pengelolaan dan kurangnya supervisi
resmi. Baru pada tahun 1975, Dubai Islamic Bank menjadi pelopor dalam peletakan
awal sendi-sendi perbankan syariah di dunia. Setelah pendirian tersebut,
tercatat sampai akhir tahun 1996 telah didirikan lebih dari 166 lembaga
keuangan syariah atas prakarsa swasta maupun pemerintah (Chapra,2001:228-229).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari
perkembangan perbankan syariah internasional. Sejak adanya perbaikan dalam
undang-undang perbankan pasca Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menunjukkan
peningkatan yang sangat pesat. Hal tersebut ditunjukkan dengan asset bank syariah
pada tahun 1993 sebesar Rp460 miliar, tahun 1998 sebesar Rp600 miliar dan pada
September 2004 telah menjadi Rp12 triliun (Idat:2005).
Dibalik perkembangan aset yang
menggembirakan tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa perkembangan perbankan
syariah merupakan suatu eforia reformasi. Eforia perkembangan yang pesat
merupakan perkembangan yang semu dan berbahaya bila tidak dilandasi kerangka
kelembagaan dan pengaturan yang memadai dari aspek best practices. Kerangka
kelembagaan dan pengaturan yang tidak memadai rentan terhadap berbagai bentuk
kejahatan yang senantiasa mengintai industri perbankan nasional.
Sejarah pengaturan dan pengawasan
perbankan di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan untuk mengembangkan
perbankan nasional sekaligus untuk menanggulangi kejahatan perbankan yang
menyertainya.
Pengawasan bank melalui audit
terhadap bank pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kantor Akuntan
Publik termasuk oleh Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun, mengapa dengan
berbagai upaya tersebut, pembobolan yang mencolok mata tetap terjadi.
Pembobolan Bank BNI melalui
transaksi L/C fiktif, yang nilainya mencapai di atas Rp1 triliun, terjadinya
permainan atau pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate Document) di Bank
Mandiri, merefleksikan pengawasan bank yang belum berjalan sebagaimana mestinya
(Bisnis Indonesia, 27/10/2003).
Fakta-fakta di atas menimbulkan
pertanyaan apakah Bank Indonesia sebagai pengatur bank di Indonesia mampu
melakukan pengaturan yang efektif terhadap perbankan syariah. Kasus-kasus
kejahatan perbankan seperti di atas, bukan tidak mungkin dapat menimpa
perbankan syariah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penelitian dan kajian
manajemen risiko bukan hanya untuk BI tetapi juga untuk manajemen bank itu
sendiri. Perlu usaha bersama dari berbagai pihak agar di dapatkan model
manajemen risiko yang lebih sesuai dengan bank syariah.
3.
Kegiatan Yang Dilarang (Berdasarkan Pasal 14 Uu
No.17 Tahun 1992)
a. Menerima
simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
b. Melakukan
kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
c. Melakukan
penyertaan modal
d. Melakukan
usaha perasuransian
e. Melakukan
usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
e.disebutkan
pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS
4)
arapan Pengembangan Usaha Bprs Dimasa Mendatang
1. Peningkatan Kegiatan Sosialisasi Produk
dan Jasa Perbankan Syariah ke seluruh Lapisan Masyarakat
Sosialisasi produk perbankan syariah
masih dirasakan sangat kurang. Merujuk hasil penelitian kinerja industry BPRS
di Indonesia yang diselenggarakan oleh biro perbankan syariah Bank Indonesia
tahun 2002, diperoleh gambaran bahwa pemahaman masyarakat terhadap kegiatan
operasional bank syariah khususnya dan konsep keuamgam syariah pada umunya
masih perlu ditingkatkan.
Media promosi produk dan kegiatan
operasional perbankan syariah pada umumnya baru sebatas penyediaan brosur,
melalui pelayanan dan pemasaran langsung petugas bank dengan pelayanan jemput
bola, dan memanfaatkan peran alim ulama serta tokoh masyarakat dalam memasarkan
produk perbankan syariah. Penggunaan
medis cetak dan elektronik tampaknya belum menjadi alternative promosi bagi
BPRS. Dana promosi yang terbatas yang dialokasikan dalam anggaran belanja BPRS
terkait dengan masih kecilnya skala operasional BPRS itu sendiri.
Perlu kiranya dipikirkan kegiatan
promosi bersana yang diselenggarakan atas partisipasi segenap unsure perbankan
syariah, industry keuangan syariah, lembaga penunjang lainnya dan semua pihak
agar perbankan syariah dan kegiatan investasi sesuai syariah lainnya dikenal
luas oleh masyarakat.
2. Teciptanya Altenatif Sumber Pendanaan
dan Peningkatan Kemampuan Permodalan BPRS
Pada tahun 1988, Bank Indonesia
menyediakan fasilitas pembiayaan likuiditas bagi BPRS dalam bentuk pembiayaan
Modal Kerja (PMK-BPRS) dan pembiayaan bagi Pengusa Kecil dan Mikro (PPMK)
dengan plafon sebesar maksimal satu kali jumlah modal disetor BPRS untuk
kategori BPRS yang berturut-turut sehat selama dua tahun terakhir. Tetapi
dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999, maka Bank Indonesia tidak
diperkenankan menyalurkan pembiayaan likuiditas kepada perbankan, dan
mengalihkannya kepada lembaga lain yang dirujuk oleh pemerintah dan Bank
Indonesia.
Fasiliatas pembiayaan modal kerja
bagi perkembangan BRPS dan fasilitas pembiayaan likuiditas Bank Indonesia
tersebut betul-betul dirasakan manfaatnya bagi BPRS, terutama untuk memenuhi
permintaan pembiayaan mudal kerja dari nasabah pengusaha kecil dan mikro,
sesuai arah dan sasaran yang hendak dicapai untuk pengembangan usaha ekonoi
produktif yang dikembangkan pengusaha kecil dan mikro di pedesaan.
Sejak dialihkannya penyediaan
fasilitas pembiayaan tesebut dari Bank Indonesia kepada lembaga lain, akses BPRS
untuk memperoleh sumber pendanaan selain dari penghimpunan dana dari masyarakat
lebih banyak diperoleh dari kerjasama pembiayaan dengan bank umum syariah untuk
membiayai kebutuhan modal kerja nasabah BPRS lemahnya sumber pendanaan BPRS
juga karena kesulitan BPRS itu sendiri untuk mengakses sumber pendanaan dari
lembaga dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membatasi penempatan
investasinya hanya di bank umum atau bank pemerintah lainnya.
Sementara itu kemampuan para
pemegang saham dalam meningkatkan struktur permodalan bank terutama dalam
rangka mengimbangi peningkatan dan perkembagan
usaha bank juga masih belum diharapkan. Keadaan ini mungkin sejalan
dengan keadaan perekonomian nasional secara makro pada saat ini yang belum
pulih sesuai yang diharapkan. Kesulitan sumber pendanaan bagi BPRS ini dapat
dibantu dengan melonggarkan kewajiban investasi dari badan usaha milik
pemerintah dan swasta dan memberikan peluang berinvestasi d BPRS, dengan tetap
memperhatikan prinsp-prisip dan kaidah investasi yang aman dan menguntungkan.
Kebijakan penyaluran pembiayaan
usaha kecilm s\dari penyisihan 5% dari laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi dalam rangka pengembangan
usahanya, kiranya dapat disalurkan melalui BPRS sebagai dana bergulir. Dengan
demikian efektivitas penyaluran pembiayaan tersebut diharapkan lebih meningkat.
4.
Kelebihan dan Kekurangan BUS, UUS, dan BPRS
BUS
Kelebihan dari BUS adalah pertama, kelebihan bank syariah terutama
pada kuatnya ikatan emosional keagamaan antara pemegang saham,pengelola
bank,dan nasabahnya.Dari ikatan emosional inilah dapat dikembangkan kebersamaan
dalam menghadapi risiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil.
Kedua, dengan adanya keterikatan secara
religi,maka semua pihak yang terlibat dalam bank Islam adalah berusaha
sebaik-baiknya dengan pengalaman ajaran agamanya sehingga berapa pun hasil yang
diperoleh diyakini membawa berkah. Ketiga, adanya Fasilitas pembiayaan
(al=mudharabah dan al-musyarakah) yang tidak membebani nasabah sejak awal
dengan kewajiban membayar biaya secara tetap.hai ini adalah memberikan
kelonggaran psikologis yang diperlukan nasabah untuk dapat berusaha secara
tenang dan sungguh-sungguh.
Keempat, dengan adanya sistem bagi hasil,
untuk penyimpan dana setelah tersedia peringatan dini tentang keadaan banknya
yang bias diketahui sewaktu-waktu dari naik turunnya jumlah bagi hasil yang
diterima. Kelima, penerapan sistem bagi hasil dan ditinggalkannya sistem bunga
menjadikan bank Islam lebih mandiri dari pengaruh gejolak moneter baik dari
dalam maupun dari luar negeri.
Kekurangannya adalah pertama,
Kelemahan bank syariah adalah bahwa bank dengan sisem ini terlalu berprasangka
baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat
dalam bank Islam adalah jujur.Dengan demikian bank Islam sangat rawan terhadap
mereka yang beritikad tidak baik,sehingga diperlukan usaha tambahan untuk
mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari bank syariah.
Kedua, sistem bagi hasil memerlukan
perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba
nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di bank tidak tetap.Dengan
demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bias terjadi sehingga diperlukan
kecermatan yang lebih besar dari bank konvensional.
Ketiga, Karena bank ini membawa misi bagi
hasil yang adil,maka bank Islam lebih memerlukan tenaga-tenaga profesionan yang
andal dari pada bank konvensional. Kekeliruan dalam menilaui proyek yang akan
dibiayai bank dengan system bagi hasil akan membawa akibat yang lebih besar
daripada yang dihadapi bank konvensional yang hasil pendapatannya sudah tetap
dari bunga.
UUS
Kelebihan Unit usaha syariah hampir memiliki keunggulan yang sama
dengan Bank Umum Syariah, hanya saja karena Unit Usaha Syariah ini dibawah Bank
Konvensional mereka memiliki modal yang lebih siap.
Kekurangan
sama dengan BUS karena produk yang ditawarkanya pun sama dengan BUS.
BPRS
Kelebihan dari BPRS adalah khususnya
dalam pendekatan kepada nasabah. Pendekatan kepada nasabah yang diterapkan
sangat personal. Menyederhanakan prosedur bagi nasabah yang hendak melakukan
atau menggunakan jasa. Seperti misalnya, dalam memberikan pinjaman atau pembiayaan.
Persyaratan yang diajukan kepada nasabah tetap ada tetapi tidak perlu serumit
dengan bank-bank umum. Hal ini agar terbina hubungan baik antara bank dengan
debitornya. Karena disinilah kekuatan dari lembaga-lembaga dapat bertahan,
yaitu dengan mengandalkan kepercayaan yang terjalin antara kedua belah pihak.
Kekuranganya adalah tidak dapat menerima simpanan dalam bentuk giro dan
ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam bentuk
valuta asing, melakukan penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian, melakukan
usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha
yang boleh dilakukan oleh BPRS.
BAB III
PENUTUP
Bahwasanya
BUS, UUS, dan BPRS adalah sebuah organisasi atau lembaga keuangan yang bekerja
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan berlandaskan Al-Quran dan Hadist.
Adapun
fungsi ketiganya adalah sebagai wadah, pengelola dan juga sebagai penyalur dana
dari masyarakat. Yang mereka jaga dana tersebut untuk menjaga kepercayaan dari
masyarakat karena hubungan kedua sebagai mitra.
Dalam
kegiatan tersebut ketiga organisasi atau lembaga keuangan ini dalam kegiatanya
dilindungi sekaligus tunduk terhadap perundang-undangan, jadi kegiatan dan juga
produk-produk yang mereka tawarkan sudah sesuai dari prinsip syariah.
Mereka
tidak dapat menawarkan produk yang belum disahkan atau belum di ijinkan oleh
lembaga yang menaungi mereka, dan hukuman bagi yang melanggar akan diberi
sanksi berupa surat teguran dan juga denda.
DAFTAR
PUSTAKA
Zubairi Hasan, Undang-undang
Perbankan Syariah, PT.Raja Grafindo Persada, jakarta 2009.
Ismail, Perbankan Syariah. Penerbit Kencana
Prenada Media Group : Jakarta 2010.
[1] Ismail, Perbankan
Syariah. (Penerbit Kencana Prenada Media Group : Jakarta 2010).h.78-79
[2] Ibid, Ismail,
Perbankan Syariah, h.79
[3] http://blog.stie-mce.ac.id/amirkusnanto/2011/12/27/bank-syariah-dan-unit-usaha-syariah/
selasa 10-11-2015 pkl. 13:15
[4] Zubairi
Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah, PT.Raja Grafindo Persada,
jakarta 2009, hal. 88-91
[5] http://blog.stie-mce.ac.id/amirkusnanto/2011/12/27/bank-syariah-dan-unit-usaha-syariah/ selasa 10-11-2015 pkl.13:30
[7] Zubairi
Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah, PT.Raja Grafindo Persada, jakarta 2009,
h. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar