BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebijakan fiskal dan oneter satu sama lain
saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing-masing variabel
kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu
pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (government expenditure). Sedangkan
variabel utama dalam kebijakan moneteryaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga.
Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan
kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor-sektor tersebut diantarannya
sektor rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan sektor sektor dunia
internasional. Keempat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing-masing
dalam menciptakan pendapat dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah
dari perkiraan semula da suasana ketidakpastiaannya sangat tinggi. Kepercayaan
masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran
ekonomi dunia semakin suram dari hari kehari walaupun semua bank sentral sudah
menurunkan suku bunga sampai tingkat yang rendah.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Proses Aktor Dan Perumusan
Fiskal
2.
Apa Yang Terkait Dengan Isu-Isu
Kebijakan Fiskal
- Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Bagaimana Proses Aktor
Dan Perumusan Fiskal
2.
Agar Dapat Mengetahui Apa Yang Terkait
Dalam Isu-Isu Kebijakan Fiskal
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
AKTOR
DAN PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL
Proses
pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak
proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan
suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara
sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik tidak
terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan
bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami
proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau
pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Charles Lindblom (Budi Winarno:2002) mengutarakan bahwa
untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus
dipahami sifat-sifat semua pemeran serta, bagian atau peran apa yang mereka
lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana
mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari
berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom mengemukakan bahwa mereka
mempunyai peran khusus yang meliputi : warganegara biasa, pemimpin organisasi,
anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim,
pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.
Setelah
masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui
aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang
esensial karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah
kebijakan publik tersebut akan dirumuskan. Bagaimana masalah publik tersebut
akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan
tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebijakan tersebut
dirumuskan.
Pembahasan
mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam
tulisan James Anderson, Charles Lindblom, maupun James Lester dan Joseph
Stewart, Jr. (Budi Winarno:2002) disebutkan bahwa aktor-aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok atau
pemeran serta, yaitu :
1. Pemeran
serta resmi, meliputi agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif),
legislatif dan yudikatif.
2. Pemeran serta tidak resmi, meliputi
kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu.Daftar
Bernomor
Proses perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan
publik, karena dari sinilah akan dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri.
Tidak semua isu yang dianggap masalah bagi masyarakat perlu dipecahkan oleh
pemerintah sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya ke dalam agenda
pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui
berbagai tahapan.Budi Winarno (2002) menyimpulkan dari pendapat beberapa ahli
bahwa dalam perumusan kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakan secara
sistematis, yaitu :
Tahap pertama, perumusan masalah.
Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang
paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan
dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan
dengan baik. Kebijakan publik pada dasarnya merupakan upaya untuk memecahkan
masalah dalam masyarakat. Menurut Mitroff dan Kliman dalam Dunn (2003:80),
perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga
tahap yang berbeda namun saling bergantung, yaitu 1) konseptualisasi masalah
(2)spesifikasi masalah (3) pengenalan masalah. Proses perumusan masalah dapat
dimulai dari tahap manapun di antara ketiga tahap tersebut, namun suatu
prasyarat dalam perumusan masalah adalah pengenalan atau menyadari keberadaan
situasi problematis Untuk bergerak dari situasi problematis ke masalah
substantif, analis kebijakan perlu mengkonsepsikan masalah, yaitu
mendefinisikan menurut peristilahan dasar atau umum. Setelah masalah substantif
dikonseptualisasikan, maka masalah formal yang lebih terperinci dan spesifik
dapat dirumuskan. Proses memindahkan dari masalah substantif ke masalah formal
diselenggarakan melalui spesifikasi masalah (problem spesification).
Tahap kedua, agenda kebijakan.
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Masalah-masalah tersebut akan berkompetisi antara satu dengan yang
lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam
agenda kebijakan. Masalah publik yang masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian
akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif, kalangan
eksekutif, agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif.
Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk
diselesaikan.Menurut Abidin (2006:127), agenda kebijakan adalah sebuah daftar
permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab
untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak-pihak yang berwenang menjadi
kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat
dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat politis. Beberapa faktor
yang mempengaruhi proses penyusunan agenda adalah (1) perkembangan sistem
pemerintahan yang demokratis; (2) sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda;
(3) bentuk pemerintahan atau realisasi otonomi daerah; dan (4) partisipasi
masyarakat.
Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk
memecahkan masalah.
Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan
dengan berbagai alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan
masalah. Para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan
antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini,
maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang
terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Tahap keempat, penetapan kebijakan.
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan
diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir
dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut
sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang
diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan
yang terlibat dalam permbuatan kebijakan tersebut.
William Dunn (Budi Winarno:2002) menyebutkan, dalam
pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap yang dilaluinya adalah :
Tahap penyusunan agenda. Masalah-masalah
akan berkompetisi dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Pada
akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan.
Pada saat itu, suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa
yang lain pembahasan masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama. Tahap
penyusunan agenda merupakan tahap yang akan menentukan apakah suatu masalah
akan dibahas menjadi kebijakan atau sebaliknya.
Tahap formulasi kebijakan. Masalah yang
masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk kemudian dicari alternatif
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif yang ada. Dalam tahap perumusan kebijakan ini,
masing-masing alternatif akan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan
“bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.Dari sekian banyak
alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya
salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan
peradilan.
Tahap implementasi kebijakan. Suatu
program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika tidak diimplementasikan.
Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana, namun beberapa
yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
Tahap penilaian
kebijakan. Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu
memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak
yang diinginkan. Oleh karena itu, maka ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.
- Proses Perumusan Kebijakan Belanja Negara Dalam APBN Setelah Reformasi Keuangan Negara
Ø Pasal 23
Anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbaan Dewan Perwakilan
Daerah.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Ø Apa prinsip yang
terkandung dalam Pasal 23 ayat(1) UUD 1945 mengenai Pengelolaan Keuangan
Negara?
Pertanggung
jawaban Pengelolaan Keuangan Negara : Penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti
standar akuntansi pemerintah yang telah diterima
secara umum (Penjelasan UU 17 Tahun 2003 Butir9).
Tanggung
Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah
untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, dan transparan dengan memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan (Pasal1. 7 UU No. 15 Tahun 2004).
“bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Dimensi Pertanggungjawaban
Keuangan, Bukan dinilai sekadar dari laporan akhir disampaikan, namun sejak awal proses perancangan,
pembahasan, dan pengesahan, serta pelaksanaan. Bukan
sekadar dari sisi formalitas prosedur, melainkan secara substantif juga harus
memenuh iunsur pertanggung jawaban[1]
Definisi keuangan negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa
pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh
subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu:
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain
yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan pengertian keuangan
negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.
Dengan demikian, bidang pengelolaan
keuangan negara dapat dikelompokkan dalam:
a. subbidang pengelolaan fiskal,
b. subbidang pengelolaan moneter, dan
c. subbidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.
Pengelolaan keuangan negara
subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari penetapan
Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan
APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR,
pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran
negara (PAN) sampai dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang.
Pengelolaan keuangan negara
subbidang pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan
kegiatan sector perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar
negeri.
Pengelolaan keuangan negara subbidang
kekayaan Negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan
kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang
orientasinya mencari keuntungan (profit motive).
Berdasarkan uraian di atas,
pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara
dalam arti luas, dan pengertian
keuangan negara dalam arti sempit.
Pengertian keuangan negara dalam arti luas
pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana
keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan
negara dalam arti sempit hanya
mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja.
Ø Tahapan
dalam proses perumusan kebijakan belanja negara dalam APBN setelah era
refoermasi keuangan (setelah tahun 2005).
1. Mentri
negara PPN /bappenas dan materi keuangan menetapkan surat bersama (SB) tentang pagu indikatif, yang
merupakan ancar-ancar pagu anggaran kementrian negara atau lembaga (K/L) untuj
setiap program sebagai acuan penyusuna rencana kerja K/L.
2. Pemerintah
menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun
anggaran berikutnya keDPR selambat lambatnya pertengahan bulan mei tahun berjalan.
3. Pemerintah
bersama sama DPR membahas kebijakan umum dan preoritas anggaran sebagai acuan
K/L dalam penyusuna usulan rencana kerja dan anggaran yang akan dilaksanakan
tahun berikutnya (anka angka pagu sementara).
4. Berdasarkan
SE mentri keuangan mengenai pagu sementara, dan dalam rangka penyusunan
rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN),mentri /pimpinan
lembaga menyusun .rencana kerja dan anggaran kementrian / lembaga (RKA-KL)dan
daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
5. RKA-KL
tersebut kemudian dibahas bersama antara kementrian atau lembaga dengan komisi
terkai di DPR.
6. Penyusuna
RKA-KL dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
a. a.pengangaran
terpadu (unified budget);
b. b.kerangka
pengeluaran jangka menengah (medium
framework expendirure);
c. c.pengangaran
berbasis kinerja ( perfomance based
budgeting).
7. Hasil
pembahasan antara kementrian / lembaga dengan komisi terkait DPR disampaikan
kepada mentri keuangan c,q Direktorat Jendral Anggaran untuk dilakukan penelaahan dLm rangka menelliti
kesesuaian RKA-KL dengan:
a. surat
edaran mentri keuangan tentang pagu
sementara:
b. prakiraan
maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelunya.
c. setandar
biaya yang telah ditetapkan dan / tau kerangka acuan kerja / term of refrence (TOR) dan rincian
anggaran biaya (RAB) dala hal standar biaya yang belumditetapkan.;
d. Rencana
bisnis dan anggaran (RBA) umum (BLU)
8. Hasil
penelaahan RKA-KL merupakandasar penyusunan suatu anggaran kementrian /
lembaga.
9. suatu
anggaran kementrian/ lembaga dijabarkan lebih lanjut untuk tiap-tiap satuan
kerja menjadi satuan anggaran persatuan kerja (SAP-SK )
10. Apabila
terjadi perubahan RKA-KL pada saat pembahasan dengan RAPBN dengan DPR, maka
dilaukan penyesuaian RKA-KL dan SAPSK pada satuan anggaran kementrian /
lembaga.
11. RKA-KL
tersebut selanjutnya menjadi dasar penyusunan peraturan presiden tentang
rincian anggaran belanja pemerintah pusat. Pengambilan keputusan oleh DPR
mengenai rncangan undang—undang tentang APBN dilakukan selambat- lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan
dilaksanakan, sesuai pasal 15 ayat (4) UU No 17 tahun 2003 tentang an keuangan
negara
12. peraturan
presiden tentng rncian angaran belanja pemerintah pusat menjadi dasar bagi penyusunan dan pengesahan DIPA.
13. DIPA
memuat uraian fungsi, program, sasaran program, rincian kegiatan, jenis
belanja, kelompok mata anggaran keluaran (MAK) dan rencana penarikan
penerimaaan kementrian/ lembaga.
14. penyusunan,
penelaahan, pengesahan dan pelaksanaan DIPA dilakukan oleh direktorat jendrar
perbendaharaan.[2]
Ø Ruang Lingkup Keuangan Negara
Ruang lingkup keuangan negara meliputi:
a. hak
negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. kewajiban
negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan
negara;
d. pengeluaran
negara;
e. penerimaan
daerah;
f. pengeluaran
daerah;
g. kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah;
h. kekayaan
pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.
kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah; dan
j.
kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi
kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan
pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau
perusahaan negara/daerah.
C.
Penentuan Anggaran Tiap Kementrian Negara
/ Lembaga
Sesuai dengan
ketentuan, masing-masing K/L sejak awal tahun anggaran mulai menyusun suatu
rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencana strategis
K/L, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada tahun
anggaran dimaksud.
Dengan
terbatasnya sumber daya yang tersedia K/L harus menyusun program dan kegiatan
berdasarkan prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada
tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan
kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja atas keseluruhan
yang dihasilkan. Hal ini perlu ditekankan dikarenakan setiap kepala satuan
kerja bertanggung jawab secara operasional atas pencapaian target kinerja yang
telah ditetapkan. Rencana kerja disusun dalam kurun waktu antara Februari-Mei.
Pada Juli, K/L
menyesuaikan rencana kerja yang disusun menjadi suatu Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) setelah menerima surat edaran mengenai pagu sementara yang disampaikan
Kementerian Keuangan atas hasil pembahasan antara pemerintah dengan DPR
mengenai kebijakan umum dan prioritas anggaran. Kementerian negara dan Lembaga
membahas RKA tersebut dengan komisi kerja terkait di DPR untuk menyesuaikan
rencana kerja dengan anggaran yang diterima sesuai prioritas.
Setelah UU APBN
ditetapkan dan Keputusan Presiden mengenai rincian APBN disusun, K/L segera
mempersiapkan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran untuk disampaikan kepada
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara pada minggu kedua Desember.
Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya
tanggal 31 Desembar tahun anggaran yang disusun.
Kementerian Negara/Lembaga menyusun Rencana Kerja Kementerian
Negara/Lembaga (Renja-K/L) dengan mengacu pada
prioritas pembagunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan sebelumnya
dalam Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan. Penyusunan
rencana kerja tersebut dilakukan pada sekitar bulan Januari hingga bulan April.
Rencana kerja tersebut memuat kebijakan, program dan kegiatan yang dilengkapi
sasaran kinerja dengan menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang
sedang berlangsung/disusun dan prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya.
Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga tersebut disampaikan kepada
Kementerian Perencanaan.
Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga ini ditelaah oleh Kementerian
Perencanaan yang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Jika terdapat
perubahan terhadap Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga yang sedang
ditelaah tersebut maka dapat disetujui oleh Kementerian Perencanaan yang
berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan atas usulan Kementerian
Negara/Lembaga terkait.
Pada pertengahan bulan Juni, Menteri Keuangan memberikan Surat Edaran Menteri
Keuangan tentang Pagu sementara bagi masing-masing program yang ditetapkan
dalam Renja-K/L kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk kemudian disusun Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) dengan menyesuaikan
antara Renja-K/L dengan pagu sementara tersebut. Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) ini dirinci menurut unit organisasi dan
kegiatan.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) ini kemudian
dibahas oleh Kementerian/Lembaga bersama-sama dengan Komisi terkait di DPR.
Hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Kementerian Perencanaan paling
lambat pertengahan bulan Juli.
Kementerian Perencanaan selanjutnya menelaah kesesuaian antara Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) hasil pembahasan bersama DPR
dengan Rencana Kerja Pemerintah. Sementara Kementerian Keuangan menelaah
kesesuaian RKA-K/L hasil pembahasan tersebut dengan Surat Edaran Menteri
Keuangan tentang pagu sementara, prakiraan maju yang telah disetujui tahun
anggaran sebelumnya dan standar biaya yang telah ditetapkan.
Menteri Keuangan menghimpun RKA-K/L yang telah ditelaah untuk
selanjutnya bersama-sama dengan nota keuangan dan Rancangan APBN dibahas dalam
Sidang Kabinet.
Setelah nota keuangan, Rancangan APBN beserta himpunan RKA-K/L telah
dibahas maka Pemerintah menyampaikannya kepada DPR selambat-lambatnya
pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan lalu ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober.
RKA-K/L yang telah disepakati DPR tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rincian APBN selambat-lambatnya akhir bulan November. Keppres
iini lantas menjadi dasar bagi tiap-tiap Kementerian Negara/Lembaga untuk
menyusun konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang akan
disampaikan kepada Menteri Keuangan salaku Bendahara Umum Negara paling lambat
minggu kedua bulan Desember. Dokumen Pelaksanaan Anggaran ini lantas disahkan
oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember.
Ø Penyerahan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2015
Keseluruhan proses penerbitan DIPA untuk Kementerian
Negara/Lembaga telah diselesaikan pada tanggal 14 November 2014. Hal tersebut
berarti lebih cepat dari penyelesaian DIPA tahun lalu yang baru diselesaikan di
awal Desember. Sebagai dampak positifnya, penyampaian DIPA oleh Presiden ke
Menteri/Pimpinan Lembaga dan ke Gubernur dapat dilakukan pada hari Senin, 8
Desember 2014 di Istana Merdeka, Jakarta. Hal ini berarti juga lebih cepat dari
penyampaian DIPA tahun lalu.
DIPA yang diserahkan untuk Kementerian Negara/Lembaga pada kesempatan ini berjumlah 22.787 DIPA, dengan nilai Rp647,3 Triliun, terdiri atas :
DIPA yang diserahkan untuk Kementerian Negara/Lembaga pada kesempatan ini berjumlah 22.787 DIPA, dengan nilai Rp647,3 Triliun, terdiri atas :
- DIPA Kewenangan Satuan kerja Pemerintah Pusat (untuk kantor pusat dan instansi vertikal di daerah) berjumlah 18.648 DIPA dengan nilai Rp627,4 Triliun.
- DIPA Kewenangan Satuan kerja Pemerintah Daerah (terkait dengan dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan urusan bersama) berjumlah 4.139 DIPA dengan nilai Rp19,9 Triliun..
DIPA Kewenangan Satuan Kerja Pemerintah Pusat diberikan
secara simbolis kepada 5 (lima) Kementerian Negara/Lembaga terpilih berdasarkan
kriteria utama yaitu 3 (tiga) tahun berturut-turut laporan keuangannya mendapat
opini minimal Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan; dan
memperoleh pagu anggaran tertinggi dalam UU APBN TA 2015, yaitu (i) Kementerian
Agama; (ii) Kepolisian Negara Republik Indonesia; (iii) Kementerian Keuangan;
(iv) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan (v) Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Anggaran Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2015
ditetapkan sebesar Rp647,04 Triliun, yang terdiri atas:
- Dana Perimbangan Rp516,4 Triliun;
- Dana Otonomi Khusus Rp16,6 Triliun;
- Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Rp547 Miliar;
- Dana Transfer lainnya Rp104,4 Triliun, terdiri atas Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru, Bantuan Operasional Sekolah, Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi; dan
- Dana Desa Rp9,06 Triliun.
Setelah penyerahan DIPA pada hari ini, pada minggu kedua dan
ketiga Desember 2014 akan dilakukan kegiatan Penyerahan DIPA daerah kepada
satuan kerja-satuan kerja di daerah masing-masing. Hal ini diperlukan untuk
memastikan bahwa dokumen anggaran tersebut benar-benar telah disampaikan kepada
para Kuasa Pengguna Anggaran sehingga pelaksanaan kegiatan pemerintahan dapat
berjalan sebagaimana mestinya sejak awal tahun.
Ø Penyusunan dan Penetapan APBN
Dalam Bab III, pasal 11 sampai dengan pasal 15 UU. No. 17/2003,
dijelaskan mengenai penyusunan dan penetapan APBN sebagai berikut:
APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan undang-undang, terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja,
dan anggaran pembiayaan. Pendapatan negara terdiri atas pajak, penerimaan bukan
pajak, dan hibah. Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan
tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. Belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Rancangan APBN
berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya
tujuan bernegara. Tentang pembiayaan isinya antara lain disebutkan, dalam hal
APBN diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup
defisit tersebut dalam UU-APBN. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus,
pemerintah pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPR.
Pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya
pertengahan bulan Mei tahun berjalan, kemudian dilakukan pembahasan bersama
antara Pemerintah Pusat dengan DPR untuk membahas kebijakan umum dan prioritas
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam
penyusunan anggaran.
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang, menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga tahun berikutnya, berdasarkan prestasi kerja yang
akan dicapainya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disertai perkiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, disampaikan
kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN, dan
hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan
penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, sedangkan
ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah Pusat mengajukan rancangan UU-APBN, disertai Nota Keuangan
dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPR bulan Agustus tahun sebelumnya. DPR
dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam RUU-APBN. Pengambilan keputusan oleh DPR selambat-lambatnya 2
(dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBN yang
disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan,
dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyutujui RUU-APBN, Pemerintah Pusat
dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun
anggaran sebelumnya.
Ø Penyusunan dan Penetapan APBD
APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan Peraturan Daerah, terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran
belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara terdiri pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang syah. Belanja dirinci menurut
organisasi, fungsi dan jenis belanja.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah. Rancangan APBD berpedoman kepada rencana kerja
pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam
hal diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup
defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal anggaran
diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan
Daerah tentang APBD.
Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran
berikutnya sejalan dengan rencana kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan
penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni tahun
berjalan, kemudian dibahas bersama dengan Pemerintah Daerah dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya, dan bila kebijakan
umum APBD telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas
prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap
Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKPD).
Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
selaku pengguna anggaran RKPD tahun berikutnya, yang disusun dengan pendekatan
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, dan disertai dengan perkiraan
belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang disusun, kemudian
disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Perda tentang APBD
tahun berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan
anggaran SKPD diatur dalam Peraturan Daerah.
Pemda mengajukan Rancangan Perda tentang APBD, disertai penjelasan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober
tahun sebelumnya. DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Perda tentang APBD. Pengambilan
keputusan rancangan Perda-APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD
terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis
belanja.
Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD, maka untuk
membiayai keperluan setiap bulan Pemda dapat melaksanakan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan
sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan
yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Frmework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan
negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya
terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena
itu, dalam undang-undang keuangan negara diatur secara jelas mekanisme
pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, tersebut pembagian tugas antara
panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
ISU-ISU TERKAIT KEBIJAKAN FISKAL
A. Anggaran
Pendidikan
Berapa
besar alokasi Anggaran Pendidikan APBN-P 2015?
Jumat lalu (13/02) telah digelar salah satu peristiwa bersejarah
di negeri ini, yaitu Rapat Paripurna antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang menentukan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang (UU)
Nomor 27 tahun 2014 tentang APBN 2015. Sebagai informasi APBN 2015 yang
ditetapkan dengan UU Nomor 27 Tahun 2014 tersebut bersifat baseline. Dikatakan
baseline karena disusun pada masa pemerintahan lama (Kabinet Indonesia Bersatu
II) untuk dilaksanakan oleh pemerintahan baru (Kabinet Kerja).
Yang dimaksud baseline budget berarti alokasi anggaran yang
dipersiapkan hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan kepada masyarakat sehingga menyediakan ruang gerak atau fiscal
space bagi program/kegiatan pemerintahan baru. Sebagaimana diketahui
pemerintahan baru pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyusun Kabinet
Kerja dan memiliki sasaran prioritas program pembangunan, yang dikenal dengan
istilah Trisakti dan Nawacita.
Ø Anggaran
Fungsi Pendidikan
Sebagaimana kita ketahui bersama amanat Pasal
31 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 yang berbunyi “Negara
Memprioritaskan Anggaran Pendidikan Yang Sekurang-kurangnya Dua Puluh Persen
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Untuk Memenuhi Kebutuhan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional.”
Sambil menunggu ditetapkannya UU tentang
perubahan APBN tahun 2015 atau disebut juga APBN-P 2015, bersumber dari
pemberitaan salah satu media online,
alokasi anggaran pendidikan ditetapkan dalam Rapat Paripurna pada Jumat lalu
(13/02) mencapai Rp408,5 triliun atau 20,59 persen dari total belanja negara,
yang dianggarkan melalui belanja Pemerintah Pusat Rp154,3 triliun serta yang
melalui Transfer Ke Daerah dan Dana Desa, sebesar Rp254,1 triliun.
Hal ini meningkat dari perencanaan yang diusulkan
dalam Nota Keuangan RAPBN-P 2015 yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan
sebesar 20,39 persen dari Belanja Negara pada RAPBN-P 2015 dengan nominal
Rp406.704,0 miliar. Akun twitter anonim @wikiDPR juga mengamini kesepakatan
paripurna tersebut dan menyebutkan anggaran pendidikan yang dikelola oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada APBN-P 2015 sebesar Rp 52,07
triliun.
Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada
fungsi pendidikan dalam RAPBN-P 2015 diperkirakan sebesar Rp153.839,2 miliar sehingga
mengalami kenaikan sekitar 0,5 triliun pada APBN-P 2015. Kenaikan tersebut
cukup tinggi dibandingkan dengan alokasi dalam APBN 2015 yaitu Rp146.392,8
miliar. Menurut Nota Keuangan RAPBN-P
2015, meningkatnya alokasi anggaran pada fungsi pendidikan, sebagai upaya
pemenuhan kewajiban dasar yang harus disediakan Pemerintah, yaitu pemenuhan
akan hak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan melalui perluasan
cakupan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan menambah 10,5 juta siswa yang
dilaksanakan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian
Agama.
Perlu diketahui alokasi anggaran pada fungsi pendidikan memiliki
sasaran yang diharapkan, yaitu: (1) meningkatnya taraf pendidikan penduduk; (2)
meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas; (3)
meningkatnya angka melek aksara penduduk pada kelompok usia 15 tahun ke atas;
(4) meningkatnya angka partisipasi murni (APM) SD/MI dan APM SMP/MTs; (5)
meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) SMA/SMK/MA/Paket C dan APK PT (usia
19-23 tahun); (6) meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (7)
meningkatnya kualifikasi dan kompetensi guru, dosen, dan tenaga kependidikan.
Sementara Anggaran Pendidikan Melalui Transfer ke Daerah dan Dana
Desa yang direncanakan pada RAPBN-P 2015 sebesar Rp254.252,3 miliar mengalami
penurunan karena ditetapkan sebesar Rp 254.180,9 miliar pada APBN-P 2015. Hal
ini sudah terprediksi dalam Nota Keuangan RAPBN-P 2015 dimana penurunan
tersebut disebabkan oleh adanya penyesuaian anggaran pendidikan yang
diperkirakan melalui Dana Bagi Hasil (DBH) pendidikan akibat lebih rendahnya
penerimaan dari SDA migas.
Ø Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Alokasi Anggaran Pendidikan 2015 Rp404 Triliun
Diprioritaskan untuk Meningkatkan Akses, Kualitas, Relevansi, dan Daya Saing
Pendidikan.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran
pendidikan setiap tahunnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, pada
tahun ini anggaran pendidikan telah mencapai Rp375,4 triliun dan tahun 2015
mendatang direncanakan sebesar Rp404 triliun.
“Alhamdulillah kita tetap dapat memenuhi amanat
konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari
APBN,” katanya pada pidato kenegaraan dalam rangka penyampaian Rancangan
Undang-Undang tentang APBN 2015, serta nota keuangan dan dokumen pendukungnya
pada sidang bersama DPR RI dan DPD RI di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara
MPR/DPR/DPD RI, Jumat (15/8/2014).
Presiden mengatakan, pokok-pokok kebijakan
belanja pemerintah pusat tahun 2015 salah satunya adalah untuk meningkatkan dan
memperluas akses pendidikan yang berkualitas.
Presiden SBY menyebutkan, alokasi anggaran pada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebanyak Rp67,2 triliun dan Kementerian
Agama sebanyak Rp50,5 triliun. Anggaran ini, kata Presiden, akan diprioritaskan
untuk meningkatkan akses, kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan
melalui peningkatan dan pemerataan layanan pendidikan.
“Strategi tersebut ditujukan untuk mempercepat
pembangunan sumber daya manusia, sekaligus memanfaatkan potensi demokrasi
Indonesia yang produktif,” katanya.
Presiden menyampaikan, sejak Tahun Pelajaran
2013/2014 pemerintah terus berupaya agar kualitas pendidikan terus meningkat.
Selain itu, kata Presiden, akses menjadi semakin luas termasuk untuk daerah
terpencil, terluar, dan tertinggal. “Disadari bahwa perbaikan kualitas
pendidikan memerlukan pengembangan kompetensi pendidik dan dukungan
ketersediaan infrastruktur,” katanya.
Presiden menambahkan, dalam upaya meningkatkan
pemerataan akses pendidikan, pada tahun 2015 pemerintah akan meningkatkan
penyediaan bantuan siswa miskin (BSM) dan beasiswa bagi mahasiswa miskin atau
yang dikenal dengan Bidikmisi.
Pada sisi lain sambutannya, Presiden SBY menyampaikan,
pada RAPBN 2015 direncanakan terdapat tujuh kementerian negara dan lembaga yang
akan mendapat alokasi anggaran yang cukup besar di atas Rp40 triliun. Ketujuh
kementerian dan lembaga itu adalah Kementerian Pertahanan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Agama,
Kementerian Kesehatan, Kepolisian Negara RI, dan Kementerian Perhubungan.
Presiden SBY mengatakan, alokasi anggaran pada
Kementerian Kesehatan sevabtaj Rp47,4 triliun, Kepolisian Negara RI 47,2 triliun,
Kementerian Pekerjaan Umum Rp74,2 triliun, dan Kementerian Perhubungan Rp44,6
triliun.
Presiden SBY menjelaskan, alokasi anggaran pada
Kementerian Kesehatan diprioritaskan untuk peningkatan akses dan kualitas
kesehatan. Peruntukkannya, kata Presiden SBY, antara lain guna meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas di daerah perbatasan dan pulau-pulau
kecil terluar, sehingga memenuhi standar pelayanan kesehatan primer sebanyak 70
puskesmas, pemberian bantuan operasional kesehatan sebanyak 9.715 puskesmas,
dan penyaluran anggaran penerimaan bantuan iuran atau PBI. Selain itu, jaminan
kesehatan nasional terkait BPJS kesehatan, serta peningkatan persentase jumlah
bayi usia 0-11 bulan, yang memperoleh imunisasi dasar lengkap sebesar 91%.masyarakat
akan semakin meningkat di seluruh pelosok tanah air,” kata Presiden SBY.
(desti/ASW)[3]
Ø
Anggaran
Pendidikan
Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI
sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas
tertinggi dalam penepata APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan
anggaran pendidikan yang meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Alokasi anggaran pendidikan yang ada APBN-P 2005 baru mencapai Rp.78,5
triliun,meningkat sebesar Rp.75,7 triliun dalam tiga tahun terakhir menjadi
Rp.154,2 triliun pada APBN-P 2008.
Sementara itu dalam APBN 2009,anggaran
pendiikan dialokasikan sebesar Rp.207,4
triliun atau mengalami atau mengalami peninggkatan sebesar Rp.53,2 triliun bila di bandingkan dengan alokasi
anggaran pendidikan pada tahun
sebelumnya. Alokasi anggaran pendidikan pada APBN 2009 tersebut telah mencapai
rasio sebesar 20 persen dari total belanja APBN. Dengan di penuhinya rasio
anggaran pendidikan sebesar 20 peren dari APBN maka amanat dalam UUD pasal 31
ayat 4 dan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tenteng Sistem Pendidikan Nasional
telah terpenuhi.
Ketentuan perundang-undangan tersebut
mengamanatkan agar Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurang nya 20 persen dari APBN
serta APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendid ikan nasional. Rasio anggaran pendidikan dihitung
berdasarkan formula sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 20 Februari 2008
terkait pengujian UU N0 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pndidikan Nasional, yang
memutuskan bahwa gaji pendidik termasuk
dalam perhitungan anggaran pendidikan.
Selain itu perhitungan penganggaran
pendidikan juga telah sejalan dengan UU
N0 32 Tahun 2004 tentang Perintah Daerah yang menetapkan fungsi pendidikan
(beserta anggarannya) dilimpahkan ke daerah, sehingga Dana Alokasi Umun (DAU)
fungsi pendidikan , Dana Alokasi Khusus ( DAK) bidang pendidikan,dan hibah
untuk pendidikan diperhitungkan dalam anggaran pendidikan .Alokasi anggaran
pendidikan digunakan antara lain untuk :
1.
Mendukung
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahunyang bermutu dengan
mengalokasikan (BOS) sehingga biaya pendidikan rendah dan terjangkau oleh
masyarakat.
2.
meningkatkan professionalitas dan kualitas
guru/dosen melalui peningkatan kualifikasi peningkatan akademik S1 dan D4 bagi
guru,serta S2 dan S3 bagi dosen.
3.
3.rehabilitasigedung sekolah dan pembangunan
sekolah atau kelas baru.
4.
4.meningkatkan kesejahteraan dosen atau guru
5.
5.menyediakan beasiswa jenjang pendidikan dasar
hingga jenjang pendidikan tinggi bagi ke4luarga tidak mampu
6.
6.menyediakan beasiswa hingga mencapai gelar
doctor bagi peraih medali olimpiade mateatika,sains,dan teknologi tingkat
internasional[4].
- Kesinambungan Fiskal (Fiscal Sustainability)
Deficit
anggaran ditetapkan berdasarkan proyeksi realisasi penerimaan Negara maupun
rencana alokasi belanja Negara. Penetapan Negara maupun rencana alokasi belanja
Negara. Penetapan deficit anggaran tersebut tergantung pada kebijakan fiscal
yang akan diambil pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
karena hak budget juga dimiliki oleh DPR. Kondisi deficit APBN terkait dengan
arah kebijakan fiscal yang disepakati untuk dicapai. Ketika kebijakan diarahkan
untuk mencapai konsolidasi fiscal, maka deficit APBN akan ditekan untuk tetap
rendah, sementara apabila kebijakan diarahkan untuk memberikan stimulasi fiscal
untuk mendorong perekonomian, maka deficit APBN akan cenderung lebih tinggi.
Hal
tersebut dapat digambarkan melalui perkembangan deficit APBN dalam periode
2001-2008. Dalam periode 2001-2004, kebijakan fiscal lebih diarahkan untuk
konsolidasi fiscal guna mewujudkan kesinambungan fiscal (fiscal
sustainability), dan ketahanan utang yang berkelanjutkan (debt sustainability)
sehingga deficit APBN cenderung menurun. Deficit anggaran berhasil ditekan dari
2,4persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi, 1 persen terhadap PDB pada
tahun 2014.
Dalam
upaya memantapkan proses konsolidasi fiscal tersebut, prioritas kebijakan
fiscal lebih diarahkan untuk :
1. Peningkatan
pendapatan Negara.
2. Mengendalikan
dan mempertajam prioritas alokasi dan pemanfaatan anggaran belanja.
3. Memperbaiki
pengelolaan utang dan pembiayaan anggaran
4. Memperbaiki
struktur penerimaan dan belanja Negara.
5. Memperbaiki
pengelolaan keuangan Negara agar lebih efektif,efisien dan berkesinambun gan.
Ø Kesinambungan
Fiskal dan Beban Anggaran
Isu
kesinambungan fiskal menjadi penting. Selain ia juga menjadi dasar bagi
kestabilan makro-ekonomi jangka pendek. Kebijakan fiskal dapat dianggap
berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai
anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Implikasinya: kesinambungan fiskal
akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah untuk memperoleh sumber
penerimaan pajak melalui pertumbuhan ekonomi, efisiensi kebutuhan anggaran
melalui peningkatan penerimaan maupun penajaman pengeluaran, serta sumber
pembiayaan melalui penerimaan nonpajak, seperti penjualan aset Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) atau privatisasi dan restrukturisasi utang.
Jika
pemerintah tidak bisa menjamin kesinambungan fiskal, maka akan ada ancaman
terhadap runtuhnya keuangan negara. Selain itu, masalah dalam kesinambungan
fiskal akan berakibat terhadap meningkatnya country risk Indonesia, yang pada
gilirannya akan menurunkan peringkat dan meningkatkan risiko dan menghambat
masuknya investasi ke Indonesia.
Sejauh
ini penghitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa kesinambungan fiskal masih
terjamin. Namun, patut diingat, proyeksi ini didasarkan pada asumsi bahwa
berbagai indikator makro-ekonomi seperti pertumbuhan, nilai tukar, tingkat
bunga, dan inflasi stabil. Begitu juga asumsi harga minyak. Dengan asumsi
proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,8 persen untuk tahun 2004 dan 5 persen sampai
dengan 5,5 persen untuk tahun 2005, serta inflasi sebesar 5 persen sampai
dengan 6 persen, maka proyeksi anggaran memang terkesan realistis dan
kesinambungan fiskal masih akan terus terjamin.
Akan
tetapi, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah apa yang akan terjadi
jika kondisi makro-ekonomi kita mengalami guncangan? Atau secara lebih spesifik,
apa yang akan terjadi jika pemerintah harus menanggung beban akibat berbagai
persoalan yang dihadapi, seperti naiknya harga minyak. Melemahnya nilai tukar
rupiah atau jatuh tempo utang, utang badan usaha milik negara (BUMN), program
penjaminan perbankan, kasus sengketa perjanjian seperti Karaha Bodas Company
(KBC)-yang mengharuskan Pemerintah Indonesia membayar sejumlah tertentu- dan
kasus Cemex yang sekarang sedang berada dalam proses arbitrase, mungkin juga
akan memberikan beban tambahan bagi Pemerintah Indonesia? Sebab itu, kita harus
melihat masalah ini dengan hati-hati.
Oleh karena itu, mungkin baik apabila
kembali mengingat tentang rentannya fiskal kita terhadap perubahan kondisi
eksternal, seperti melemahnya nilai tukar, meningkatnya harga minyak, serta
jika terjadi risiko fiskal akibat contingent liabilities (kewajiban yang harus
dipenuhi jika sesuatu hal terjadi). Pertanyaan ini menjadi amat penting dibahas
karena Pemerintah Indonesia, yang akan menjalankan pemerintahan selama lima
tahun mendatang, mau tidak mau harus menjamin adanya kesinambungan fiskal. Hal
itu terutama jika dikaitkan dengan beberapa isu aktual saat ini, seperti di
bawah ini.
Pertama,
melemahnya nilai tukar rupiah. Jika melemahya nilai tukar rupiah berlanjut dan
berlangsung lama, maka ada risiko target anggaran terganggu. Namun, terlalu
pagi jika kita serta-merta melakukan revisi atas asumsi anggaran karena masih
sulit untuk memastikan apakah pola menurunnya rupiah ini akan bersifat temporer
atau permanen. Hal itu mengingat gejala ini juga bersumber pada situasi
eksternal, yakni melemahnya hampir semua mata uang terhadap dollar Amerika
Serikat (AS).
Kedua,
harga minyak yang tinggi. Meningkatnya harga minyak secara tajam, apabila
berlangsung dalam jangka panjang, tentu dapat memengaruhi anggaran pemerintah.
Memang benar bahwa dari sisi penerimaan, kenaikan harga minyak akan
meningkatkan penerimaan anggaran melalui penerimaan. Namun, perlu diingat,
sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, penerimaan pemerintah dari minyak
harus dibagi dengan pemerintah daerah karena jumlah neto dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya tidak setinggi kenaikan harga
minyak itu sendiri.
Di
sisi lain, harga minyak yang tinggi juga akan menambah berat beban bagi
anggaran pemerintah. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini diperkirakan
mencapai Rp 12 triliun, dengan asumsi harga minyak 21 dollar AS per barrel.
Jika harga tetap bertahan pada sekitar 41 dollar AS per barrel, maka jelas
beban anggaran akan meningkat secara signifikan sehingga target dari defisit
anggaran pun menjadi semakin berat.
Ketiga,
tekanan fiskal akibat persoalan hukum dan kontrak. Ada dua kasus yang mengemuka
dalam kaitan ini. Kasus pertama adalah kasus KBC dan yang kedua adalah kasus
arbitrase internasional Cemex. Dalam kasus KBC, pemerintah memutuskan untuk
menalangi utang Pertamina sebesar 250 juta dollar AS, dari total beban yang
harus dibayar sebesar 294 juta dollar AS. Dana sebesar itu kemudian dijadikan
penyertaan modal pemerintah. Dalam kasus Cemex-yang sekarang proses
arbitrasenya sedang berlangsung-jika Pemerintah Indonesia kalah dalam
menghadapi gugatan Cemex, maka -seperti diberitakan di beberapa media masa-ada
kemungkinan Pemerintah Indonesia harus membayar 400 juta- 500 juta dollar AS.
Suatu jumlah yang juga akan memberikan tekanan pada anggaran karena mencapai 50
persen dari proyeksi penerimaan privatisasi tahun 2005.
Di
sini kita melihat adanya tekanan fiskal yang dapat terjadi karena soal-soal
contingent liabilities dalam jangka pendek. Studi yang dilakukan LPEM- FEUI
(2003) mencoba menghitung neraca risiko pemerintah dalam 30 tahun kedepan.
Harus diakui bahwa perhitungan yang dilakukan masih relatif kasar dan tidak
bisa menangkap semua aspek neraca pemerintah, karena keterbatasan data dan informasi
yang ada.
Namun,
ada satu temuan penting: studi ini menunjukkan jika aset dan kewajiban
pemerintah dalam 30 tahun ke depan dihitung dengan menggunakan nilai saat ini
(present value), maka nilai bersih anggaran pemerintah adalah negatif lebih
dari Rp 2.000 triliun. Nilai negatif ini relatif sangat besar, yang menunjukkan
risiko fiskal yang sangat tinggi. Estimasi neraca risiko fiskal yang pernah
dilakukan Bank Dunia (2002) juga memberikan nilai negatif net worth sebesar Rp
1.339,8 triliun untuk base case scenario; negatif Rp 980,3 triliun untuk
better-case scenario; dan negatif Rp 2.383,8 triliun untuk worse-case scenario.
SIMULASI
LPEM-FEUI juga menunjukkan bahwa jika keadaan makro terus stabil dan tak ada
guncangan eksternal, maka rasio utang pemerintah serta indeks kesinambungan
fiskal akan terus menurun. Artinya, kesinambungan fiskal akan semakin terjamin.
Dan untuk mencapai target rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen pada tahun
2007, rasio penerimaan pajak yang dibutuhkan adalah sebesar 15 persen. Artinya,
jika rasio pajak dapat ditingkatkan 1 persen per tahun, maka kondisi ini akan
tercapai. Namun, apabila contingent liabilities dimasukkan dalam perhitungan,
maka indeks kesinambungan fiskal akan meningkat, yang artinya kesinambungan
fiskal terancam. Perhitungan LPEM-FEUI menunjukkan untuk rasio utang terhadap
PDB sebesar 78 persen saja, dibutuhkan surplus anggaran sebesar 4 persen.
Artinya,
rasio penerimaan pajak harus ditingkatkan menjadi 17 persen dari sekitar 13,4
persen. Jelas sesuatu yang amat sulit dicapai oleh pemerintah. Terlihat bahwa
untuk kesinambungan fiskal pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun aset
dan kewajibannya. Hasil negatif net worth yang diperoleh dari pendekatan ini
menunjukkan, kondisi fiskal Indonesia sangat rentan jika terjadi suatu hal
dalam perekonomian, atau jika pelaku-pelaku ekonomi mengalami kegagalan.
Tanggungan pemerintah menjadi sangat besar dan ini membahayakan kondisi fiskal.
Namun,
yang perlu diingat di sini bahwa perhitungan itu adalah perhitungan potensi
beban risiko fiskal dan bukan beban nyata yang ada saat ini. Hasil perhitungan
ini harus diinterpretasi dengan hati-hati. Namun, kita harus melihat semua
potensi persoalan yang ada dan berusaha mengatasinya.
Saya
melihat bahwa isu kesinambungan fiskal tetap merupakan masalah penting yang
harus dihadapi oleh siapa pun yang menjadi presiden terpilih pada bulan Oktober
nanti.
Kesinambungan
fiskal yang selama ini sudah berhasil dicapai harus terus dijaga dan pelbagai
risiko yang bisa membahayakan fiskal harus dihindari. Pemilihan presiden boleh
saja menyerap banyak energi, tetapi itu tak berarti kesinambungan fiskal dan
masalah contingent liabilities boleh diabaikan. Negeri ini memang tak punya
banyak kemewahan untuk melupakan prioritas kebijakan ekonominya. Mudah-mudahan
para calon presiden menyadari soal ini. *
Rasio
pembayaran ULN Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service
ratio/DSR) mengalami kenaikan tajam. DSR kita telah mencapai 34,7% pada kuartal
I/2013, menurun sedikit dibandingkan dengan posisi pada 2012 sebesar 34,9%. Namun, angka DSR ini tergolong tinggi
karena batas amannya seharusnya dijaga tidak lebih dari 20%. Penyebab tingginya DSR ini adalah karena
menurunnya kemampuan ekspor kita.
Tentunya,
tingginya pembayaran ULN ini membawa implikasi bagi perekonomian. Tingginya
pembayaran ULN telah menyebabkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) defisit,
menekan posisi cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah melemah. Dengan kata lain, meski kontribusinya
tidak terlalu tinggi, posisi APBN dan utang pemerintah juga ikut memperlemah
nilai tukar Rupiah dan NPI kita.
Sehubungan
dengan hal tersebut, saya mengusulkan beberapa hal untuk memperbaiki kondisi
ini.
Pertama,
dalam jangka pendek, penting bagi pemerintah untuk mendorong ekspor agar angka
DSR turun. APBN semestinya dapat menjadi instrumen penting untuk merevitalisa
si industri-industri berbasis ekspor.
Kedua,
pemerintah harus konsisten dengan kebijakan pengendalian subsidi energi,
khususnya BBM. Tingginya subsidi BBM, tidak hanya menyebabkan tekanan pada
APBN, tetapi juga pada nilai tukar Rupiah dan NPI.
Ketiga,
pemerintah perlu menyelidiki berbagai faktor yang menyebabkan menurunnya
kemampuan penerimaan perpajakan.
Bisa
jadi memang, selain ekstensifikasi pajak yang perlu ditingkatkan, upaya inten
sifikasi pajak terutama terhadap wajib pajak besar, dirasakan belum op timal.
Saya kira, tidak ada salahnya bila Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilibatkan
dalam meneliti efek tivitas kebijakan utang dan perpajakan kita.
- Risiko Fiskal
Cebotari,
Aliona, dkk mendefinisikan resiko fiskal adalah kemungkinan penyimpangan dalam
variabel-variabel fiskal dari apa yang diharapkan pada saat penyusunan anggaran
maupun perkiraaan lainnya. Sumber resiko fiskal terutama berasal dari guncangan
ekonomi makro dan realisasi kewajiban kontinjensi.
Brixi,
Hanna Polackova dan Allen Schick mendefinisikan resiko fiskal adalah sumber
tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh pemerintah di masa depan. Resiko
fiskal terutama terjadi karena terjadinya peristiwa yang tidak tentu. Resiko
fiskal sering dihubungkan dengan kewajiban kontinjensi pemerintah.[5]
Resiko
fiskal merupakan gambaran mengenai tantangan-tantangan keuangan yang dihadapi
oleh pemerintah di masa mendatang. Sumber-sumber resiko fiskal dapat terjadi
adanya perubahan ekstrim terkait ekonomi makro seperti: krisis ekonomi
diseluruh bagian dunia, kenaikan harga minyak yang tinggi, kenaikan atau
penurunan komoditas ekspor Indonesia yang drastis, suku bunga Internasional
yang fluktuatif dan kurs mata uang yang tidak stabil.[6]
Resiko
fiskal juga dapat disebabkan oleh adanya kewajiban kontinjensi, yaitu kewajiban
yang harus ditanggung pemerintah bila terjadi suatu peristiwa atau kejadian
tertentu, baik kewajiban eksplisit maupun kewajiban implisit.
Kewajiban
eksplisit adalah kewajiban pemerintah yang didasarkan hukum dan kontrak,
sehingga secara eksplisit pemerintah harus bertanggung jawab atas suatu
peristiwa atau kejadian.
Ø Resiko
fiskal yang dihadapi oleh pemerintah pada saat ini antara lain adalah:
1. Sensitivitas
Asumsi Ekonomi Makro
Dalam
penyusunan APBN, indikator-indikator makro yang digunakan sebagai dasar
penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Sertifikat
Suku Bunga Indonesia (SSBI) 3 bulan (akan digantikan dengan tingkat bunga Surat
Perbendaharaan Negara), nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia, dan
lifting minyak.
Indikator-indikator
tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan bagi penghitungan
besaran-besaran pendapatan, belana, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila
realisasi variabel-variabel tersebut berbeda denga asumsinya, maka
besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan ikut
berubah. Oleh sebab itu, variasi indikator ekonomi makro merupakan salah satu
resiko dalam APBN.
Pertumbuhan
ekonomi mempengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pandapatan maupun belanja
negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain
mempengaruhi penerimaan pajak, terutama pph dan ppn. Pada sisi belanja negara,
pertumbuhan ekonomi antara lain mempengaruhi besara nilai dana perimbangan
dalam anggaran transfer ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan
pajak.
Penurunan nilai tukar rupiah (khususunya
terhadap dolar Amerika Serikat) memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik
pendapatan, belanja, maupun pembiyaan. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi
nilai tukar rupiah antara lain akan mempengaruhi penerimaan minyak dan gas bumi
(migas) dalam dominasi dolar Amerika Serikat serta PPh dan PPn. Pada sisi
belanja negara, yang akan terpengaruh antar lain: belanja dalam mata uang
asing; pembayaran bunga utang luar negeri; subsidi BBM dan listrik; dsb.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang kan terkena dampak nya adalah: pinjaman
luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek; pembayaran cicilan
pokok utang luar negeri; dan privatisasi dan penjualan aset program
restrukturisasi perbankan yang dilakukan
dalam mata uang asing.
Perubahan tingkat suku bunga SBI 3 bulan
diperkirakan hanya akan berdampak pada sisi belanja. Dalam hal ini, peningkatan
suku bunga SBI 3 bulan akan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang
domestik. Sementara itu, harga minyak mentah Indonesia ( ICP) mempengaruhi APBN
pada sisi pendapatan dan belanja negara dan penurunan lifting minyak domestik
juga akan mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi
pendapatan, penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan pph migas dan
PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunan lifting minyak
domestik akan menurunkan dan bagi hasil ke daerah.
2. Resiko
Utang Pemerintah
Salah
satu aspek pengelolaan resiko fiskal adalah pengelolan resiko utang pemerintah.
Pengelolaan resiko utang pemerintah sangat mempengaruhi kesinambungan fiskal
pemerintah pada tahun berjalan dan masa yang akan datang. Pengelolaan resiko utang
pemerintah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan utang pemerintah. Resiko keuangan
portofolio utang pemerintah sangat dipengaruhi oleh sejauhmana kemampuan
kementrian keuangan mengelola manajemen utang. Strategi pengelolaan utang yang
baik akan mampu mengurangi resiko utang pemerintah.
Secara umum ,
resiko utang Pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: resiko
tingkat bunga (interest rate risk), resiko pembiayaan kembali (refinancing
risk), dan resiko nilai tukar (exchange rate risk).
3. Proyek
pembangunan infrastruktur
Resiko
fiskal yang terkait dengan proyek pembanguna infrastruktur berasal dari
dukungan atau jaminan yang diberikan oleh pemerintah terhadap beerapa proyek
percepatan pembangunan, seperti proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga
listrik 10 Mega Watt (MW), pembanguna jalan tol trans Jawa, pembanguna alan tol
Jakarta Outer Ring Road II(JORR), Proyek MP3EI dan proyek pembangunan
monorail Jakarta.
Resiko
fiskal terkait dengan pembangunan infrastuktur tersebut adalah adanya jaminan
pemerintah terhadap pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Apabila pelaksana
proyek tersebut tidak mampu membayar kepada kreditur tepat waktu maka
pemerintah harus memenuhi kewajiban pelakasana proyek tersebut. Pemenuhan
kewajiban pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN.
4. Resiko
Badan Usaha Milik Negara
Perubahan
nilai tukar, tingkat suku bunga dan harga minyak mentah akan menimbulkan dampak
pada kinerja keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kontribusi BUMN
terhadap APBN. Penurunan kontribusi ini merupakan bagian dari resiko fiskal
yang bersumber dari BUMN.
5. Sektor
Keuangan
Resiko
fiskal terkait dengan sektor keuangan diantaranya bersumber dari Bank Indonesia
dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Resiko yang beasal dari Bank Indonesia.
Berdasarkan UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah denga Undang-Undang No.3 tahun 2004 diatur bahwa modal Bank Indonesia
paling sedikit Rp 2 triliun. Dala hal terjadi resiko fiskal atas pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia yang mengakibatkan modal tersebut menadi
kurang dari Rp 2 triliun, maka pemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud
yang dilaksanakan setelah mendapat persetuuan DPR.
Resiko
dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24
tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), modal awal LPS ditetapkan
paling sedikit Rp 4 triliun dan paling besar Rp 8 triliun. Dalam hal modal LPS
kurang dari modal awal, pemerintah dengan persetujuan DPR akan menutupi.
6. Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT)
Pegawai Negeri Sipil
Sumber
resiko dari program ini adalah adanya sharing pembayaran pensiun antara APBN
dan PT Taspen (Persero) sebesar 91:1. Pada tahun 2009 Pemerintah memperbaiki
sharing APBN dala pembayaran pensiun sesuai dengan rencana pengembalian pola
pendanaan pensiun secara bertahap menjadi 100 persen.
Adapun
untuk program THT, beberapa kebijakan pemerintah antara lain kenaikan gaji
pokok PNS dan perubahan formula perhitungan manfaat, menimbulkan resiko pada
APBN, terkait dengan kekurangan pendanaan pemerintah.
7. Desentralisasi
Fiskal
Kebijakan
desentralisasi fiskal dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dala
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun kebijakan desentralisasin
perlu didukung dengan tersediana SDM yang mampu menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar.
Tanpa
dukungan tersebut, kebijakan ini dapat menimbulkan resiko yang berdampak tidak
hanya pada keuangan Pemerintah Pusat tetapi juga pada keuangan pemerintah Daerah.
Beberapa sumber resiko fiskal yang terkait dengan desentralisasi fiskal
diantaranya adalah: pemekaran daerah, hord harmless, alokasi dana bagi
hasil Sumber Daya Alam.
8. Pemekaran
Daerah
Penambahan
daerah otonom baru memiliki dampak
terhadap ABPN yaitu pada: Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Alokasi Khusus
(DAK); kebutuhan pada instansi vertikal. Setiap penambahan daerah otonom baru
mengakibatkan menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah otonom lainnya. Apabila
kebijakan hold harmless masih dipertahankan, penurunan alokasi DAU tersebut
memberi konsekuensi kepada APBN untuk memberi dana penyesuaian.
Konsekunsi
lain terhadap pemekaran daerah terhadap keuangan Negara adalah penambahan
kantor-kantor untuk instansi vertika guna melakukan kegiatan pemerintah yang
merupakan kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain
pertahanan keamanan, agama, kehakiman, dan keuangan. Dan dibukanya
kantor-kantor tersebut Pemerintah Pusat harus menyediakan dana untuk sarana dan
prasarana gedung kantor, belanja pegawai dan berbagai dana operasional lainnya.
9. Hold
harmless
Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah mengatur bahwa pemberian
dana alokasu umum (DAU) ke daerah dilakukan berdasarkan suatu formula tertentu
lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan
dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan
perekonomian negara, kebijakan tersebut dikenal dengan istilah hold harmless.
Penentuan
DAU untuk tahun-tahun selanjutnya di alokasikan murni berdasarkan formula
tersebut ditentukan political will Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta
DPR dalam upaya mengoptimalkan alokasi DAU bagi kepentingan seluruh daerah.
10. Alokasi
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, dan abagi hasil (DBH) disalurkan berdasarkan realisasi
penerimaan tahun beralan. Oleh karena itu selama tahun anggaran berjalan
terdapat potensi perbedaan antara DBH yang dialokasikan dalam APBN dengan
realisasi. Apabila perhitungan realisasi DBH suatu daerah lebih tinggi daripada
alokasi dalam APBN, pemerintah harus mentransfer selisih dana tersebut ke
daerah yang bersangkutan.
11. Resiko
Fiskal Lainnya
Di
samping resiko fiskal yang telah disebutkan di atas, APBN juga dihadapkan pada
beberapa resiko fiskal lainnya antara lain disebabkan oleh dua hal: resiko
tidak tercapainya penerimaan dan resiko terlampauinya pengeluaran APBN.
Ø
Pengelolaan
Resiko Fiskal Oleh Pemerintah
a.
Kebijakan
pengelolaan resiko fiskal
Menghadapi
berbagai kemungkinan dan resiko terkait dengan kebijakan fiskal ang diambil,
pemerintah telah mengambil lankag-langkah kebijakan, yajni dengan melakukan pengungkapan resiko
fiskal pada nota keuangan dan pembentukan pusat pengelolaan resiko fiskal
(PPRF). Pengungkapan resiko fiskal dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
peningkatan kesadaran seluruh stakeholder dalam pengelolaan kebijakan fiskal,
meningkatkan keterbukaan fiskal, meningkatkan tanggung jawab, dan menciptakan
kelangsungan fiskal.[7]
PPRF ini berfungsi untuk melakukakan kajian resiko fiskal Pemerintahan
Indonesia, baik pusat maupun daerah, pembentukan PPRF oleh Menteri Keuangan
maksudkan untuk membantu Menteri Keuangan dalam pengelolaan resiko fiskal
terutama terkait dengan masalah: perumusan kebijakan fiskal, pemberian dukungna
pemerintah, serta penyiapan bahan negosiasi dan perjanjanjian kerjasama;
analisis dan evaluasi pengelolaan resiko ekonomi, keuangan dan sosial, resiko
BUMN dan resiko dukungan pemerintah; analisis dan evaluasi pengelolaan resiko
fiskal terhadap pelaksanaa Public Service Obligation (PSO).
b. Pengeolaan
Resiko Terkait Perubahan Asumsi Makro Ekonomi
·
Pengelolaan Resiko Kurs
Sepanjang tahun anggaran 2014, nilai
tukar rupiah terus melemah. Hingga Oktober nilai tukar rupiah berkisar di atas
Rp 12.000 per dollar AS. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut tentunya akan
meningkatkan subsidi BBM yang dapat menggerusi APBN. Untuk itu pemerintah berupaya
mengendalikan fluktuasi nilai tukar rupiah dengan cara memotong subsidi BBM
dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi ( premium dan solar ) sebesar Rp
2.000 per liter. Selain itu pemerintah juga terus menekan tingkat inflasi
serendah mungkin, menjaga stabilitas ekonomi, tingkat suku bunga, politik, dan keamanan nasional serta
mkenciptakan iklim investasi yang kondusif,
·
Pengelolaan resiko inflasi
Inflasi yang tinggi akan menyebabkan
pendapatan riil masyarakat akan menurun sehingga standard hidup masyarakat juga
menurun yang pada akhirnya menjadikan masyarakat miskin menjadi miskin. Inflasi
yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam
pengambilan keputusan, pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak
stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi,
investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Tingkat inflasi domestic yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
inflasi di Negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestic riil menjadi tidak
kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Oleh karena
itu, pemerintah harus mengalokasikan anggaran lain-lain sebagai bentuk mitigasi
atas resiko ini. Alokasi anggaran ini salah satunya adalah untuk stabilisasi
harga kebutuhan melalui program pangan.
Alternatif, yang dapat dilakukan antara lain dengan kegiatan operasi pasaran
yang dapat dilakukan dengan melibatkan BUMN (yang profitable) CSR.
·
Pengelolaan resiko suku bunga
Tingkat suku bunga merupakan salah
satu instrument dalam mengendalikan jumlah uang yang beredar yang berimplikasi
pada tingkat inflasi. Pada Negara dengan tingkat kapasitas barang dan jasa yang
masih berkembang pesat, tentunya memiliki tantangan tersendiri. Bank sentral
sebagai pemegang otoritas moneter harus menetapkan tingkat suku bunga yang
tepat agar laju pertumbuhan ekonomi dapat di percepat dengan tingkat inflasi
yang terkendali. Melihat tren setelah krisis dunia khususnya di Amerika, suku
bunga akan masih ada pada tingkat level yang rendah, oleh karena itu laju
pertumbuhan ekonomi sebesar sekitar 5% di tahun 2014 ini diharapkan bisa
dicapai.
·
Pengelolaan resiko dan lifting minyak
Kenaikan harga minyak dunia
menimbulkan imbas pada meningkatnya penerimaan Negara dari sektor migas, akan
tetapi juga sekaligus mengakibatkan membengkaknya belanja Negara untuk subsidi
BBM. Pada 2014 ini, walaupun harga minyak dunia menurun, namun tidak akan
berpengaruh besar terhadap beban nilai impor maupun subsidi untuk bahan bakar
minyak (BBM). Sebab, depresiasi rupiah juga anjlok cukup dalam, sehingga
meningkatkan subsidi BBM tersebut. mitigasi yang dilakukan pemerintah terkait
dengan resiko fiscal dengan minyak adalah meningkatkan lifting sektor minyak
bumi dan gas, mengefesienkan cost recovery, dan efesien dari impor
minyak, mengurangi konsumsi BBM dan mengembangkan sumber energio alternatif
seperti gas dan bio diesel.
·
Pengelolaan resiko pertumbuhan ekonomi
Berdasarkan nota keuangan 2013,
pertumbuhan ekonomi 2013 mencapai 6,35%, dan dengan melihat kondisi yang
dihadapi sekarang ini, maka pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi pada level
5,12%. Dengan kata lain akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi bila
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penurunan pertumbuhan tersebut
dipengaruhi oleh unsure-unsur asumsi makro ekonomi yang lain seperti tingkat
suku bunga dan inflasi. Oleh karena itu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
tersebut pemerintah telah mendorong perekonomian melalui upaya penekanan suku
bunga dan inflasi, sehingga dapat terjadi peningkatan investasi, industry, daya
saing ekspor, penguatan penyerapan belanja Negara, serta pemantapan ketahanan
pangan dan energi. Selain itu, resiko melambatnya laju pertumbuhan ekonomi oleh
pemerintah dimitigasi dengan mengurangi subsidi BBM untuk meningkatkan belanja
public infrastruktur, terutama jalan dan jembatan daerah yang tertinggal,
melakukan program pemberdayaan masyarakat seperti Pogram Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM), stimulasi fiscal untuk mengikuti kegiatan perekonomian,
penciptaan investasi iklim yang mudah dan kondusif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses
pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak
proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan
suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara
sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud
dari pengeloaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang
dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sesuai dengan
ketentuan, masing-masing K/L sejak awal tahun anggaran mulai menyusun suatu
rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencana strategis
K/L, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada tahun
anggaran dimaksud.
Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI sepakat untuk
menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam
penepata APBN setiap tahun
Isu kesinambungan fiskal menjadi penting. Selain ia juga
menjadi dasar bagi kestabilan makro-ekonomi jangka pendek. Kebijakan fiskal
dapat dianggap berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan
untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas.
Cebotari, Aliona, dkk mendefinisikan resiko fiskal adalah
kemungkinan penyimpangan dalam variabel-variabel fiskal dari apa yang
diharapkan pada saat penyusunan anggaran maupun perkiraaan lainnya. Sumber
resiko fiskal terutama berasal dari guncangan ekonomi makro dan realisasi
kewajiban kontinjensi.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, Pokok-PokokHukumTataNegara Indonesia PascaReformasi. (Jakarta:
BIP. 2007). hal. 807-888
Fatullah Yoesof. Fiskal
dan Moneter, (Yogyakarta: Idea Press, 2013)
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/20260-risiko-fiskal-yang-dihadapi-pemerintah-dan-strategi-pengelolaannya-guna-menjamin-pembangunan-ekonomi-yang-berkesinambungan
[1] Asshiddiqie,
Jimly, Pokok-PokokHukumTataNegara Indonesia PascaReformasi. (Jakarta:
BIP. 2007). hal. 807-888
[3] https://id-id.facebook.com/Kemdikbud.RI/posts/596735373769240
[7] http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/20260-risiko-fiskal-yang-dihadapi-pemerintah-dan-strategi-pengelolaannya-guna-menjamin-pembangunan-ekonomi-yang-berkesinambungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar