Minggu, 07 Mei 2017

FISKAL MONETER



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebijakan fiskal dan oneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing-masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (government expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneteryaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor-sektor tersebut diantarannya sektor rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan sektor sektor dunia internasional. Keempat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing-masing dalam menciptakan pendapat dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula da suasana ketidakpastiaannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia semakin suram dari hari kehari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang rendah.

  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Proses Aktor Dan Perumusan Fiskal
2.      Apa Yang Terkait Dengan Isu-Isu Kebijakan Fiskal

  1. Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Proses Aktor Dan Perumusan Fiskal
2.      Agar Dapat Mengetahui Apa Yang Terkait Dalam Isu-Isu Kebijakan Fiskal




BAB II
PEMBAHASAN
AKTOR DAN PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL
  1. Proses Aktor Perumusan Kebijakan
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Charles Lindblom (Budi Winarno:2002) mengutarakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta, bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom mengemukakan bahwa mereka mempunyai peran khusus yang meliputi : warganegara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.
Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang esensial karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan. Bagaimana masalah publik tersebut akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan.
Pembahasan mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam tulisan James Anderson, Charles Lindblom, maupun James Lester dan Joseph Stewart, Jr. (Budi Winarno:2002) disebutkan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok atau pemeran serta, yaitu :
1.      Pemeran serta resmi, meliputi agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif.
2.       Pemeran serta tidak resmi, meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu.Daftar Bernomor
Proses perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan publik, karena dari sinilah akan dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Tidak semua isu yang dianggap masalah bagi masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui berbagai tahapan.Budi Winarno (2002) menyimpulkan dari pendapat beberapa ahli bahwa dalam perumusan kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakan secara sistematis, yaitu :
Tahap pertama, perumusan masalah.
Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik. Kebijakan publik pada dasarnya merupakan upaya untuk memecahkan masalah dalam masyarakat. Menurut Mitroff dan Kliman dalam Dunn (2003:80), perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yang berbeda namun saling bergantung, yaitu 1) konseptualisasi masalah (2)spesifikasi masalah (3) pengenalan masalah. Proses perumusan masalah dapat dimulai dari tahap manapun di antara ketiga tahap tersebut, namun suatu prasyarat dalam perumusan masalah adalah pengenalan atau menyadari keberadaan situasi problematis Untuk bergerak dari situasi problematis ke masalah substantif, analis kebijakan perlu mengkonsepsikan masalah, yaitu mendefinisikan menurut peristilahan dasar atau umum. Setelah masalah substantif dikonseptualisasikan, maka masalah formal yang lebih terperinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses memindahkan dari masalah substantif ke masalah formal diselenggarakan melalui spesifikasi masalah (problem spesification).
Tahap kedua, agenda kebijakan.
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut akan berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah publik yang masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif, kalangan eksekutif, agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk diselesaikan.Menurut Abidin (2006:127), agenda kebijakan adalah sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak-pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat politis. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyusunan agenda adalah (1) perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis; (2) sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda; (3) bentuk pemerintahan atau realisasi otonomi daerah; dan (4) partisipasi masyarakat.
Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.
Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah. Para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Tahap keempat, penetapan kebijakan.
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam permbuatan kebijakan tersebut.
William Dunn (Budi Winarno:2002) menyebutkan, dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap yang dilaluinya adalah :
            Tahap penyusunan agenda. Masalah-masalah akan berkompetisi dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada saat itu, suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama. Tahap penyusunan agenda merupakan tahap yang akan menentukan apakah suatu masalah akan dibahas menjadi kebijakan atau sebaliknya.
            Tahap formulasi kebijakan. Masalah yang masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk kemudian dicari alternatif pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Dalam tahap perumusan kebijakan ini, masing-masing alternatif akan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
            Tahap implementasi kebijakan. Suatu program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
    Tahap penilaian kebijakan. Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Oleh karena itu, maka ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

  1. Proses Perumusan Kebijakan Belanja Negara Dalam APBN Setelah Reformasi Keuangan Negara
Ø  Pasal 23
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbaan Dewan Perwakilan Daerah.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden,  Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Ø  Apa prinsip yang terkandung dalam Pasal 23 ayat(1) UUD 1945 mengenai Pengelolaan Keuangan Negara?
Pertanggung jawaban Pengelolaan Keuangan Negara : Penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang  telah diterima secara umum (Penjelasan UU 17 Tahun 2003 Butir9).
Tanggung Jawab Keuangan Negara  adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,  efisien, ekonomis, efektif,  dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Pasal1. 7 UU No. 15 Tahun 2004).
“bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Dimensi Pertanggungjawaban Keuangan, Bukan dinilai sekadar dari laporan akhir disampaikan,  namun sejak awal proses perancangan, pembahasan, dan pengesahan, serta pelaksanaan.  Bukan sekadar dari sisi formalitas prosedur, melainkan secara substantif juga harus memenuh iunsur pertanggung jawaban[1]
Definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. 
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. 
Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam:
a. subbidang pengelolaan fiskal,
b. subbidang pengelolaan moneter, dan
c. subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. 
Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran negara (PAN) sampai dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang. 
Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sector perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar negeri.
Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan Negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang orientasinya mencari keuntungan (profit motive). 
Berdasarkan uraian di atas, pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja. 
Ø  Tahapan dalam proses perumusan kebijakan belanja negara dalam APBN setelah era refoermasi keuangan (setelah tahun 2005).
1.      Mentri negara PPN /bappenas dan materi keuangan menetapkan surat  bersama (SB) tentang pagu indikatif, yang merupakan ancar-ancar pagu anggaran kementrian negara atau lembaga (K/L) untuj setiap program sebagai acuan penyusuna rencana kerja K/L.
2.      Pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya keDPR selambat lambatnya pertengahan bulan mei tahun berjalan.
3.      Pemerintah bersama sama DPR membahas kebijakan umum dan preoritas anggaran sebagai acuan K/L dalam penyusuna usulan rencana kerja dan anggaran yang akan dilaksanakan tahun berikutnya (anka angka pagu sementara).
4.      Berdasarkan SE mentri keuangan mengenai pagu sementara, dan dalam rangka penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN),mentri /pimpinan lembaga menyusun .rencana kerja dan anggaran kementrian / lembaga (RKA-KL)dan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
5.      RKA-KL tersebut kemudian dibahas bersama antara kementrian atau lembaga dengan komisi terkai di DPR.
6.      Penyusuna RKA-KL dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
a.       a.pengangaran terpadu (unified budget);
b.      b.kerangka pengeluaran jangka menengah (medium framework expendirure);
c.       c.pengangaran berbasis kinerja ( perfomance based budgeting).
7.      Hasil pembahasan antara kementrian / lembaga dengan komisi terkait DPR disampaikan kepada mentri keuangan c,q Direktorat Jendral Anggaran untuk  dilakukan penelaahan dLm rangka menelliti kesesuaian RKA-KL dengan:
a.       surat edaran mentri keuangan  tentang pagu sementara:
b.      prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelunya.
c.       setandar biaya yang telah ditetapkan dan / tau kerangka acuan kerja / term of refrence (TOR) dan rincian anggaran biaya (RAB) dala hal standar biaya yang belumditetapkan.;
d.      Rencana bisnis dan anggaran (RBA) umum (BLU)
8.      Hasil penelaahan RKA-KL merupakandasar penyusunan suatu anggaran kementrian / lembaga.
9.      suatu anggaran kementrian/ lembaga dijabarkan lebih lanjut untuk tiap-tiap satuan kerja menjadi satuan anggaran persatuan kerja (SAP-SK )
10.  Apabila terjadi perubahan RKA-KL pada saat pembahasan dengan RAPBN dengan DPR, maka dilaukan penyesuaian RKA-KL dan SAPSK pada satuan anggaran kementrian / lembaga.
11.  RKA-KL tersebut selanjutnya menjadi dasar penyusunan peraturan presiden tentang rincian anggaran belanja pemerintah pusat. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rncangan undang—undang tentang APBN dilakukan selambat- lambatnya  2 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, sesuai pasal 15 ayat (4) UU No 17 tahun 2003 tentang an keuangan negara
12.  peraturan presiden tentng rncian angaran belanja pemerintah pusat menjadi  dasar bagi penyusunan dan pengesahan DIPA.
13.  DIPA memuat uraian fungsi, program, sasaran program, rincian kegiatan, jenis belanja, kelompok mata anggaran keluaran (MAK) dan rencana penarikan penerimaaan kementrian/ lembaga.
14.  penyusunan, penelaahan, pengesahan dan pelaksanaan DIPA dilakukan oleh direktorat jendrar perbendaharaan.[2]
Ø  Ruang Lingkup Keuangan Negara
Ruang lingkup keuangan negara meliputi:
a.       hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.      kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.       penerimaan negara;
d.      pengeluaran negara;
e.       penerimaan daerah;
f.       pengeluaran daerah;
g.      kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h.      kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 
i.        kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; dan
j.        kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.





C.    Penentuan Anggaran Tiap Kementrian Negara / Lembaga
Sesuai dengan ketentuan, masing-masing K/L sejak awal tahun anggaran mulai menyusun suatu rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencana strategis K/L, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada tahun anggaran dimaksud.
Dengan terbatasnya sumber daya yang tersedia K/L harus menyusun program dan kegiatan berdasarkan prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja atas keseluruhan yang dihasilkan. Hal ini perlu ditekankan dikarenakan setiap kepala satuan kerja bertanggung jawab secara operasional atas pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan. Rencana kerja disusun dalam kurun waktu antara Februari-Mei.
Pada Juli, K/L menyesuaikan rencana kerja yang disusun menjadi suatu Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) setelah menerima surat edaran mengenai pagu sementara yang disampaikan Kementerian Keuangan atas hasil pembahasan antara pemerintah dengan DPR mengenai kebijakan umum dan prioritas anggaran. Kementerian negara dan Lembaga membahas RKA tersebut dengan komisi kerja terkait di DPR untuk menyesuaikan rencana kerja dengan anggaran yang diterima sesuai prioritas.
Setelah UU APBN ditetapkan dan Keputusan Presiden mengenai rincian APBN disusun, K/L segera mempersiapkan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara pada minggu kedua Desember. Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya tanggal 31 Desembar tahun anggaran yang disusun.
Kementerian Negara/Lembaga menyusun Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-K/L) dengan mengacu pada prioritas pembagunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan sebelumnya dalam Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan. Penyusunan rencana kerja tersebut dilakukan pada sekitar bulan Januari hingga bulan April. Rencana kerja tersebut memuat kebijakan, program dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang sedang berlangsung/disusun dan prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya. Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga tersebut disampaikan kepada Kementerian Perencanaan.
Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga ini ditelaah oleh Kementerian Perencanaan yang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Jika terdapat perubahan terhadap Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga yang sedang ditelaah tersebut maka dapat disetujui oleh Kementerian Perencanaan yang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan atas usulan Kementerian Negara/Lembaga terkait.
Pada pertengahan bulan Juni, Menteri Keuangan memberikan Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu sementara bagi masing-masing program yang ditetapkan dalam Renja-K/L kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk kemudian disusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) dengan menyesuaikan antara Renja-K/L dengan pagu sementara tersebut. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) ini dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) ini kemudian dibahas oleh Kementerian/Lembaga bersama-sama dengan Komisi terkait di DPR. Hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Kementerian Perencanaan paling lambat pertengahan bulan Juli.
Kementerian Perencanaan selanjutnya menelaah kesesuaian antara Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) hasil pembahasan bersama DPR dengan Rencana Kerja Pemerintah. Sementara Kementerian Keuangan menelaah kesesuaian RKA-K/L hasil pembahasan tersebut dengan Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu sementara, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya dan standar biaya yang telah ditetapkan.
Menteri Keuangan menghimpun RKA-K/L yang telah ditelaah untuk selanjutnya bersama-sama dengan nota keuangan dan Rancangan APBN dibahas dalam Sidang Kabinet.
Setelah nota keuangan, Rancangan APBN beserta himpunan RKA-K/L telah dibahas maka Pemerintah menyampaikannya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan lalu ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober.
RKA-K/L yang telah disepakati DPR tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rincian APBN selambat-lambatnya akhir bulan November. Keppres iini lantas menjadi dasar bagi tiap-tiap Kementerian Negara/Lembaga untuk menyusun konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan salaku Bendahara Umum Negara paling lambat minggu kedua bulan Desember. Dokumen Pelaksanaan Anggaran ini lantas disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember.
Ø  Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2015
Keseluruhan proses penerbitan DIPA untuk Kementerian Negara/Lembaga telah diselesaikan pada tanggal 14 November 2014. Hal tersebut berarti lebih cepat dari penyelesaian DIPA tahun lalu yang baru diselesaikan di awal Desember. Sebagai dampak positifnya, penyampaian DIPA oleh Presiden ke Menteri/Pimpinan Lembaga dan ke Gubernur dapat dilakukan pada hari Senin, 8 Desember 2014 di Istana Merdeka, Jakarta. Hal ini berarti juga lebih cepat dari penyampaian DIPA tahun lalu.
DIPA yang diserahkan untuk Kementerian Negara/Lembaga pada kesempatan ini  berjumlah 22.787 DIPA, dengan nilai Rp647,3 Triliun, terdiri atas :
  1. DIPA Kewenangan Satuan kerja Pemerintah Pusat (untuk kantor pusat dan instansi vertikal di daerah) berjumlah 18.648 DIPA dengan nilai Rp627,4 Triliun.
  2. DIPA Kewenangan Satuan kerja Pemerintah Daerah (terkait dengan dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan urusan bersama) berjumlah 4.139 DIPA dengan nilai Rp19,9 Triliun..
DIPA Kewenangan Satuan Kerja Pemerintah Pusat diberikan secara simbolis kepada 5 (lima) Kementerian Negara/Lembaga terpilih berdasarkan kriteria utama yaitu 3 (tiga) tahun berturut-turut laporan keuangannya mendapat opini minimal Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan; dan memperoleh pagu anggaran tertinggi dalam UU APBN TA 2015, yaitu (i) Kementerian Agama; (ii) Kepolisian Negara Republik Indonesia; (iii) Kementerian Keuangan; (iv) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan (v) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Anggaran Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2015 ditetapkan  sebesar Rp647,04 Triliun, yang terdiri atas:
  1. Dana Perimbangan Rp516,4 Triliun;
  2. Dana Otonomi Khusus Rp16,6 Triliun;
  3. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Rp547 Miliar;
  4. Dana Transfer lainnya Rp104,4 Triliun, terdiri atas Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru, Bantuan Operasional Sekolah, Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi; dan
  5. Dana Desa Rp9,06 Triliun.
Setelah penyerahan DIPA pada hari ini, pada minggu kedua dan ketiga Desember 2014 akan dilakukan kegiatan Penyerahan DIPA daerah kepada satuan kerja-satuan kerja di daerah masing-masing. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa dokumen anggaran tersebut benar-benar telah disampaikan kepada para Kuasa Pengguna Anggaran sehingga pelaksanaan kegiatan pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya sejak awal tahun.

Ø  Penyusunan dan Penetapan APBN

Dalam Bab III, pasal 11 sampai dengan pasal 15 UU. No. 17/2003, dijelaskan mengenai penyusunan dan penetapan APBN sebagai berikut:
APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang, terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan. Pendapatan negara terdiri atas pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Rancangan APBN berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Tentang pembiayaan isinya antara lain disebutkan, dalam hal APBN diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam UU-APBN. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, pemerintah pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPR.
Pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan, kemudian dilakukan pembahasan bersama antara Pemerintah Pusat dengan DPR untuk membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan anggaran.
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang, menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya, berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapainya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disertai perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN, dan hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah Pusat mengajukan rancangan UU-APBN, disertai Nota Keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPR bulan Agustus tahun sebelumnya. DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU-APBN. Pengambilan keputusan oleh DPR selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyutujui RUU-APBN, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

Ø  Penyusunan dan Penetapan APBD

APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan Peraturan Daerah, terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara terdiri pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang syah. Belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Rancangan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam hal diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan rencana kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni tahun berjalan,  kemudian dibahas bersama dengan Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya, dan bila kebijakan umum APBD telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKPD).
Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran RKPD tahun berikutnya, yang disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, dan disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang disusun, kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD diatur dalam Peraturan Daerah.
Pemda mengajukan Rancangan Perda tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya. DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Perda tentang APBD. Pengambilan keputusan rancangan Perda-APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD, maka untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemda dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Frmework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang keuangan negara diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, tersebut pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.



ISU-ISU TERKAIT KEBIJAKAN FISKAL
A.    Anggaran Pendidikan
Berapa besar alokasi Anggaran Pendidikan APBN-P 2015?
Jumat lalu (13/02) telah digelar salah satu peristiwa bersejarah di negeri ini, yaitu Rapat Paripurna antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menentukan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2014 tentang APBN 2015. Sebagai informasi APBN 2015 yang ditetapkan dengan UU Nomor 27 Tahun 2014 tersebut bersifat baseline. Dikatakan baseline karena disusun pada masa pemerintahan lama (Kabinet Indonesia Bersatu II) untuk dilaksanakan oleh pemerintahan baru (Kabinet Kerja).
Yang dimaksud baseline budget berarti alokasi anggaran yang dipersiapkan hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat sehingga menyediakan ruang gerak atau fiscal space bagi program/kegiatan pemerintahan baru. Sebagaimana diketahui pemerintahan baru pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyusun Kabinet Kerja dan memiliki sasaran prioritas program pembangunan, yang dikenal dengan istilah Trisakti dan Nawacita.
Ø  Anggaran Fungsi Pendidikan
Sebagaimana kita ketahui bersama amanat Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 yang berbunyi “Negara Memprioritaskan Anggaran Pendidikan Yang Sekurang-kurangnya Dua Puluh Persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Untuk Memenuhi Kebutuhan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional.”
Sambil menunggu ditetapkannya UU tentang perubahan APBN tahun 2015 atau disebut juga APBN-P 2015, bersumber dari pemberitaan salah satu media online, alokasi anggaran pendidikan ditetapkan dalam Rapat Paripurna pada Jumat lalu (13/02) mencapai Rp408,5 triliun atau 20,59 persen dari total belanja negara, yang dianggarkan melalui belanja Pemerintah Pusat Rp154,3 triliun serta yang melalui Transfer Ke Daerah dan Dana Desa, sebesar Rp254,1 triliun.
Hal ini meningkat dari perencanaan yang diusulkan dalam Nota Keuangan RAPBN-P 2015 yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20,39 persen dari Belanja Negara pada RAPBN-P 2015 dengan nominal Rp406.704,0 miliar. Akun twitter anonim @wikiDPR juga mengamini kesepakatan paripurna tersebut dan menyebutkan anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada APBN-P 2015 sebesar Rp 52,07 triliun.
Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada fungsi pendidikan dalam RAPBN-P 2015 diperkirakan sebesar Rp153.839,2 miliar sehingga mengalami kenaikan sekitar 0,5 triliun pada APBN-P 2015. Kenaikan tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan alokasi dalam APBN 2015 yaitu Rp146.392,8 miliar. Menurut Nota Keuangan RAPBN-P 2015, meningkatnya alokasi anggaran pada fungsi pendidikan, sebagai upaya pemenuhan kewajiban dasar yang harus disediakan Pemerintah, yaitu pemenuhan akan hak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan melalui perluasan cakupan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan menambah 10,5 juta siswa yang dilaksanakan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Perlu diketahui alokasi anggaran pada fungsi pendidikan memiliki sasaran yang diharapkan, yaitu: (1) meningkatnya taraf pendidikan penduduk; (2) meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas; (3) meningkatnya angka melek aksara penduduk pada kelompok usia 15 tahun ke atas; (4) meningkatnya angka partisipasi murni (APM) SD/MI dan APM SMP/MTs; (5) meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) SMA/SMK/MA/Paket C dan APK PT (usia 19-23 tahun); (6) meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (7) meningkatnya kualifikasi dan kompetensi guru, dosen, dan tenaga kependidikan.
Sementara Anggaran Pendidikan Melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang direncanakan pada RAPBN-P 2015 sebesar Rp254.252,3 miliar mengalami penurunan karena ditetapkan sebesar Rp 254.180,9 miliar pada APBN-P 2015. Hal ini sudah terprediksi dalam Nota Keuangan RAPBN-P 2015 dimana penurunan tersebut disebabkan oleh adanya penyesuaian anggaran pendidikan yang diperkirakan melalui Dana Bagi Hasil (DBH) pendidikan akibat lebih rendahnya penerimaan dari SDA migas.
Ø  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Alokasi Anggaran Pendidikan 2015 Rp404 Triliun Diprioritaskan untuk Meningkatkan Akses, Kualitas, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan setiap tahunnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, pada tahun ini anggaran pendidikan telah mencapai Rp375,4 triliun dan tahun 2015 mendatang direncanakan sebesar Rp404 triliun.
“Alhamdulillah kita tetap dapat memenuhi amanat konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN,” katanya pada pidato kenegaraan dalam rangka penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang APBN 2015, serta nota keuangan dan dokumen pendukungnya pada sidang bersama DPR RI dan DPD RI di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jumat (15/8/2014).
Presiden mengatakan, pokok-pokok kebijakan belanja pemerintah pusat tahun 2015 salah satunya adalah untuk meningkatkan dan memperluas akses pendidikan yang berkualitas.
Presiden SBY menyebutkan, alokasi anggaran pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebanyak Rp67,2 triliun dan Kementerian Agama sebanyak Rp50,5 triliun. Anggaran ini, kata Presiden, akan diprioritaskan untuk meningkatkan akses, kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan melalui peningkatan dan pemerataan layanan pendidikan.
“Strategi tersebut ditujukan untuk mempercepat pembangunan sumber daya manusia, sekaligus memanfaatkan potensi demokrasi Indonesia yang produktif,” katanya.
Presiden menyampaikan, sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 pemerintah terus berupaya agar kualitas pendidikan terus meningkat. Selain itu, kata Presiden, akses menjadi semakin luas termasuk untuk daerah terpencil, terluar, dan tertinggal. “Disadari bahwa perbaikan kualitas pendidikan memerlukan pengembangan kompetensi pendidik dan dukungan ketersediaan infrastruktur,” katanya.
Presiden menambahkan, dalam upaya meningkatkan pemerataan akses pendidikan, pada tahun 2015 pemerintah akan meningkatkan penyediaan bantuan siswa miskin (BSM) dan beasiswa bagi mahasiswa miskin atau yang dikenal dengan Bidikmisi.
Pada sisi lain sambutannya, Presiden SBY menyampaikan, pada RAPBN 2015 direncanakan terdapat tujuh kementerian negara dan lembaga yang akan mendapat alokasi anggaran yang cukup besar di atas Rp40 triliun. Ketujuh kementerian dan lembaga itu adalah Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kepolisian Negara RI, dan Kementerian Perhubungan.
Presiden SBY mengatakan, alokasi anggaran pada Kementerian Kesehatan sevabtaj Rp47,4 triliun, Kepolisian Negara RI 47,2 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp74,2 triliun, dan Kementerian Perhubungan Rp44,6 triliun.
Presiden SBY menjelaskan, alokasi anggaran pada Kementerian Kesehatan diprioritaskan untuk peningkatan akses dan kualitas kesehatan. Peruntukkannya, kata Presiden SBY, antara lain guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas di daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, sehingga memenuhi standar pelayanan kesehatan primer sebanyak 70 puskesmas, pemberian bantuan operasional kesehatan sebanyak 9.715 puskesmas, dan penyaluran anggaran penerimaan bantuan iuran atau PBI. Selain itu, jaminan kesehatan nasional terkait BPJS kesehatan, serta peningkatan persentase jumlah bayi usia 0-11 bulan, yang memperoleh imunisasi dasar lengkap sebesar 91%.masyarakat akan semakin meningkat di seluruh pelosok tanah air,” kata Presiden SBY. (desti/ASW)[3]
Ø  Anggaran Pendidikan
Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penepata APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran pendidikan yang meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Alokasi anggaran pendidikan yang ada APBN-P 2005 baru mencapai Rp.78,5 triliun,meningkat sebesar Rp.75,7 triliun dalam tiga tahun terakhir menjadi Rp.154,2 triliun pada APBN-P 2008.
Sementara itu dalam APBN 2009,anggaran pendiikan dialokasikan sebesar Rp.207,4 triliun atau mengalami atau mengalami peninggkatan sebesar Rp.53,2  triliun bila di bandingkan dengan alokasi anggaran  pendidikan pada tahun sebelumnya. Alokasi anggaran pendidikan pada APBN 2009 tersebut telah mencapai rasio sebesar 20 persen dari total belanja APBN. Dengan di penuhinya rasio anggaran pendidikan sebesar 20 peren dari APBN maka amanat dalam UUD pasal 31 ayat 4 dan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tenteng Sistem Pendidikan Nasional telah terpenuhi.
Ketentuan perundang-undangan tersebut mengamanatkan  agar Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurang nya 20 persen dari APBN serta APBD  untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional. Rasio anggaran pendidikan dihitung berdasarkan formula sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 20 Februari 2008 terkait pengujian UU N0 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pndidikan Nasional, yang memutuskan  bahwa gaji pendidik termasuk dalam perhitungan anggaran pendidikan.
Selain itu perhitungan penganggaran pendidikan juga telah sejalan dengan  UU N0 32 Tahun 2004 tentang Perintah Daerah yang menetapkan fungsi pendidikan (beserta anggarannya) dilimpahkan ke daerah, sehingga Dana Alokasi Umun (DAU) fungsi pendidikan , Dana Alokasi Khusus ( DAK) bidang pendidikan,dan hibah untuk pendidikan diperhitungkan dalam anggaran pendidikan .Alokasi anggaran pendidikan digunakan antara lain untuk :
1.      Mendukung penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahunyang bermutu dengan mengalokasikan (BOS) sehingga biaya pendidikan rendah dan terjangkau oleh masyarakat.
2.      meningkatkan professionalitas dan kualitas guru/dosen melalui peningkatan kualifikasi peningkatan akademik S1 dan D4 bagi guru,serta S2 dan S3 bagi dosen.
3.      3.rehabilitasigedung sekolah dan pembangunan sekolah atau kelas baru.
4.      4.meningkatkan kesejahteraan dosen atau guru
5.      5.menyediakan beasiswa jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi bagi ke4luarga tidak mampu
6.      6.menyediakan beasiswa hingga mencapai gelar doctor bagi peraih medali olimpiade mateatika,sains,dan teknologi tingkat internasional[4].



  1. Kesinambungan Fiskal (Fiscal Sustainability)
Deficit anggaran ditetapkan berdasarkan proyeksi realisasi penerimaan Negara maupun rencana alokasi belanja Negara. Penetapan Negara maupun rencana alokasi belanja Negara. Penetapan deficit anggaran tersebut tergantung pada kebijakan fiscal yang akan diambil pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena hak budget juga dimiliki oleh DPR. Kondisi deficit APBN terkait dengan arah kebijakan fiscal yang disepakati untuk dicapai. Ketika kebijakan diarahkan untuk mencapai konsolidasi fiscal, maka deficit APBN akan ditekan untuk tetap rendah, sementara apabila kebijakan diarahkan untuk memberikan stimulasi fiscal untuk mendorong perekonomian, maka deficit APBN akan cenderung lebih tinggi.
Hal tersebut dapat digambarkan melalui perkembangan deficit APBN dalam periode 2001-2008. Dalam periode 2001-2004, kebijakan fiscal lebih diarahkan untuk konsolidasi fiscal guna mewujudkan kesinambungan fiscal (fiscal sustainability), dan ketahanan utang yang berkelanjutkan (debt sustainability) sehingga deficit APBN cenderung menurun. Deficit anggaran berhasil ditekan dari 2,4persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi, 1 persen terhadap PDB pada tahun 2014.
Dalam upaya memantapkan proses konsolidasi fiscal tersebut, prioritas kebijakan fiscal lebih diarahkan untuk :
1.      Peningkatan pendapatan Negara.
2.      Mengendalikan dan mempertajam prioritas alokasi dan pemanfaatan anggaran belanja.
3.      Memperbaiki pengelolaan utang dan pembiayaan anggaran
4.      Memperbaiki struktur penerimaan dan belanja Negara.
5.      Memperbaiki pengelolaan keuangan Negara agar lebih efektif,efisien dan berkesinambun gan.
Ø  Kesinambungan Fiskal dan Beban Anggaran
Isu kesinambungan fiskal menjadi penting. Selain ia juga menjadi dasar bagi kestabilan makro-ekonomi jangka pendek. Kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Implikasinya: kesinambungan fiskal akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah untuk memperoleh sumber penerimaan pajak melalui pertumbuhan ekonomi, efisiensi kebutuhan anggaran melalui peningkatan penerimaan maupun penajaman pengeluaran, serta sumber pembiayaan melalui penerimaan nonpajak, seperti penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau privatisasi dan restrukturisasi utang.
Jika pemerintah tidak bisa menjamin kesinambungan fiskal, maka akan ada ancaman terhadap runtuhnya keuangan negara. Selain itu, masalah dalam kesinambungan fiskal akan berakibat terhadap meningkatnya country risk Indonesia, yang pada gilirannya akan menurunkan peringkat dan meningkatkan risiko dan menghambat masuknya investasi ke Indonesia.
Sejauh ini penghitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa kesinambungan fiskal masih terjamin. Namun, patut diingat, proyeksi ini didasarkan pada asumsi bahwa berbagai indikator makro-ekonomi seperti pertumbuhan, nilai tukar, tingkat bunga, dan inflasi stabil. Begitu juga asumsi harga minyak. Dengan asumsi proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,8 persen untuk tahun 2004 dan 5 persen sampai dengan 5,5 persen untuk tahun 2005, serta inflasi sebesar 5 persen sampai dengan 6 persen, maka proyeksi anggaran memang terkesan realistis dan kesinambungan fiskal masih akan terus terjamin.
Akan tetapi, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah apa yang akan terjadi jika kondisi makro-ekonomi kita mengalami guncangan? Atau secara lebih spesifik, apa yang akan terjadi jika pemerintah harus menanggung beban akibat berbagai persoalan yang dihadapi, seperti naiknya harga minyak. Melemahnya nilai tukar rupiah atau jatuh tempo utang, utang badan usaha milik negara (BUMN), program penjaminan perbankan, kasus sengketa perjanjian seperti Karaha Bodas Company (KBC)-yang mengharuskan Pemerintah Indonesia membayar sejumlah tertentu- dan kasus Cemex yang sekarang sedang berada dalam proses arbitrase, mungkin juga akan memberikan beban tambahan bagi Pemerintah Indonesia? Sebab itu, kita harus melihat masalah ini dengan hati-hati.
Oleh karena itu, mungkin baik apabila kembali mengingat tentang rentannya fiskal kita terhadap perubahan kondisi eksternal, seperti melemahnya nilai tukar, meningkatnya harga minyak, serta jika terjadi risiko fiskal akibat contingent liabilities (kewajiban yang harus dipenuhi jika sesuatu hal terjadi). Pertanyaan ini menjadi amat penting dibahas karena Pemerintah Indonesia, yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun mendatang, mau tidak mau harus menjamin adanya kesinambungan fiskal. Hal itu terutama jika dikaitkan dengan beberapa isu aktual saat ini, seperti di bawah ini.
Pertama, melemahnya nilai tukar rupiah. Jika melemahya nilai tukar rupiah berlanjut dan berlangsung lama, maka ada risiko target anggaran terganggu. Namun, terlalu pagi jika kita serta-merta melakukan revisi atas asumsi anggaran karena masih sulit untuk memastikan apakah pola menurunnya rupiah ini akan bersifat temporer atau permanen. Hal itu mengingat gejala ini juga bersumber pada situasi eksternal, yakni melemahnya hampir semua mata uang terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Kedua, harga minyak yang tinggi. Meningkatnya harga minyak secara tajam, apabila berlangsung dalam jangka panjang, tentu dapat memengaruhi anggaran pemerintah. Memang benar bahwa dari sisi penerimaan, kenaikan harga minyak akan meningkatkan penerimaan anggaran melalui penerimaan. Namun, perlu diingat, sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, penerimaan pemerintah dari minyak harus dibagi dengan pemerintah daerah karena jumlah neto dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya tidak setinggi kenaikan harga minyak itu sendiri.
Di sisi lain, harga minyak yang tinggi juga akan menambah berat beban bagi anggaran pemerintah. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini diperkirakan mencapai Rp 12 triliun, dengan asumsi harga minyak 21 dollar AS per barrel. Jika harga tetap bertahan pada sekitar 41 dollar AS per barrel, maka jelas beban anggaran akan meningkat secara signifikan sehingga target dari defisit anggaran pun menjadi semakin berat.
Ketiga, tekanan fiskal akibat persoalan hukum dan kontrak. Ada dua kasus yang mengemuka dalam kaitan ini. Kasus pertama adalah kasus KBC dan yang kedua adalah kasus arbitrase internasional Cemex. Dalam kasus KBC, pemerintah memutuskan untuk menalangi utang Pertamina sebesar 250 juta dollar AS, dari total beban yang harus dibayar sebesar 294 juta dollar AS. Dana sebesar itu kemudian dijadikan penyertaan modal pemerintah. Dalam kasus Cemex-yang sekarang proses arbitrasenya sedang berlangsung-jika Pemerintah Indonesia kalah dalam menghadapi gugatan Cemex, maka -seperti diberitakan di beberapa media masa-ada kemungkinan Pemerintah Indonesia harus membayar 400 juta- 500 juta dollar AS. Suatu jumlah yang juga akan memberikan tekanan pada anggaran karena mencapai 50 persen dari proyeksi penerimaan privatisasi tahun 2005.
Di sini kita melihat adanya tekanan fiskal yang dapat terjadi karena soal-soal contingent liabilities dalam jangka pendek. Studi yang dilakukan LPEM- FEUI (2003) mencoba menghitung neraca risiko pemerintah dalam 30 tahun kedepan. Harus diakui bahwa perhitungan yang dilakukan masih relatif kasar dan tidak bisa menangkap semua aspek neraca pemerintah, karena keterbatasan data dan informasi yang ada.
Namun, ada satu temuan penting: studi ini menunjukkan jika aset dan kewajiban pemerintah dalam 30 tahun ke depan dihitung dengan menggunakan nilai saat ini (present value), maka nilai bersih anggaran pemerintah adalah negatif lebih dari Rp 2.000 triliun. Nilai negatif ini relatif sangat besar, yang menunjukkan risiko fiskal yang sangat tinggi. Estimasi neraca risiko fiskal yang pernah dilakukan Bank Dunia (2002) juga memberikan nilai negatif net worth sebesar Rp 1.339,8 triliun untuk base case scenario; negatif Rp 980,3 triliun untuk better-case scenario; dan negatif Rp 2.383,8 triliun untuk worse-case scenario.
SIMULASI LPEM-FEUI juga menunjukkan bahwa jika keadaan makro terus stabil dan tak ada guncangan eksternal, maka rasio utang pemerintah serta indeks kesinambungan fiskal akan terus menurun. Artinya, kesinambungan fiskal akan semakin terjamin. Dan untuk mencapai target rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen pada tahun 2007, rasio penerimaan pajak yang dibutuhkan adalah sebesar 15 persen. Artinya, jika rasio pajak dapat ditingkatkan 1 persen per tahun, maka kondisi ini akan tercapai. Namun, apabila contingent liabilities dimasukkan dalam perhitungan, maka indeks kesinambungan fiskal akan meningkat, yang artinya kesinambungan fiskal terancam. Perhitungan LPEM-FEUI menunjukkan untuk rasio utang terhadap PDB sebesar 78 persen saja, dibutuhkan surplus anggaran sebesar 4 persen.
Artinya, rasio penerimaan pajak harus ditingkatkan menjadi 17 persen dari sekitar 13,4 persen. Jelas sesuatu yang amat sulit dicapai oleh pemerintah. Terlihat bahwa untuk kesinambungan fiskal pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun aset dan kewajibannya. Hasil negatif net worth yang diperoleh dari pendekatan ini menunjukkan, kondisi fiskal Indonesia sangat rentan jika terjadi suatu hal dalam perekonomian, atau jika pelaku-pelaku ekonomi mengalami kegagalan. Tanggungan pemerintah menjadi sangat besar dan ini membahayakan kondisi fiskal.
Namun, yang perlu diingat di sini bahwa perhitungan itu adalah perhitungan potensi beban risiko fiskal dan bukan beban nyata yang ada saat ini. Hasil perhitungan ini harus diinterpretasi dengan hati-hati. Namun, kita harus melihat semua potensi persoalan yang ada dan berusaha mengatasinya.
Saya melihat bahwa isu kesinambungan fiskal tetap merupakan masalah penting yang harus dihadapi oleh siapa pun yang menjadi presiden terpilih pada bulan Oktober nanti.
Kesinambungan fiskal yang selama ini sudah berhasil dicapai harus terus dijaga dan pelbagai risiko yang bisa membahayakan fiskal harus dihindari. Pemilihan presiden boleh saja menyerap banyak energi, tetapi itu tak berarti kesinambungan fiskal dan masalah contingent liabilities boleh diabaikan. Negeri ini memang tak punya banyak kemewahan untuk melupakan prioritas kebijakan ekonominya. Mudah-mudahan para calon presiden menyadari soal ini. *
Rasio pembayaran ULN Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR) mengalami kenaikan tajam. DSR kita telah mencapai 34,7% pada kuartal I/2013, menurun sedikit dibandingkan dengan posisi pada 2012 sebesar 34,9%. Namun, angka DSR ini tergolong tinggi karena batas amannya seharusnya dijaga tidak lebih dari 20%. Penyebab tingginya DSR ini adalah karena menurunnya kemampuan ekspor kita.
Tentunya, tingginya pembayaran ULN ini membawa implikasi bagi perekonomian. Tingginya pembayaran ULN telah menyebabkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) defisit, menekan posisi cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah melemah. Dengan kata lain, meski kontribusinya tidak terlalu tinggi, posisi APBN dan utang pemerintah juga ikut memperlemah nilai tukar Rupiah dan NPI kita.
Sehubungan dengan hal tersebut, saya mengusulkan beberapa hal untuk memperbaiki kondisi ini.
Pertama, dalam jangka pendek, penting bagi pemerintah untuk mendorong ekspor agar angka DSR turun. APBN semestinya dapat menjadi instrumen penting untuk merevitalisa si industri-industri berbasis ekspor.
Kedua, pemerintah harus konsisten dengan kebijakan pengendalian subsidi energi, khususnya BBM. Tingginya subsidi BBM, tidak hanya menyebabkan tekanan pada APBN, tetapi juga pada nilai tukar Rupiah dan NPI.
Ketiga, pemerintah perlu menyelidiki berbagai faktor yang menyebabkan menurunnya kemampuan penerimaan perpajakan.
Bisa jadi memang, selain ekstensifikasi pajak yang perlu ditingkatkan, upaya inten sifikasi pajak terutama terhadap wajib pajak besar, dirasakan belum op timal. Saya kira, tidak ada salahnya bila Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilibatkan dalam meneliti efek tivitas kebijakan utang dan perpajakan kita.
  1. Risiko Fiskal
Cebotari, Aliona, dkk mendefinisikan resiko fiskal adalah kemungkinan penyimpangan dalam variabel-variabel fiskal dari apa yang diharapkan pada saat penyusunan anggaran maupun perkiraaan lainnya. Sumber resiko fiskal terutama berasal dari guncangan ekonomi makro dan realisasi kewajiban kontinjensi.
Brixi, Hanna Polackova dan Allen Schick mendefinisikan resiko fiskal adalah sumber tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh pemerintah di masa depan. Resiko fiskal terutama terjadi karena terjadinya peristiwa yang tidak tentu. Resiko fiskal sering dihubungkan dengan kewajiban kontinjensi pemerintah.[5]
Resiko fiskal merupakan gambaran mengenai tantangan-tantangan keuangan yang dihadapi oleh pemerintah di masa mendatang. Sumber-sumber resiko fiskal dapat terjadi adanya perubahan ekstrim terkait ekonomi makro seperti: krisis ekonomi diseluruh bagian dunia, kenaikan harga minyak yang tinggi, kenaikan atau penurunan komoditas ekspor Indonesia yang drastis, suku bunga Internasional yang fluktuatif dan kurs mata uang yang tidak stabil.[6]
Resiko fiskal juga dapat disebabkan oleh adanya kewajiban kontinjensi, yaitu kewajiban yang harus ditanggung pemerintah bila terjadi suatu peristiwa atau kejadian tertentu, baik kewajiban eksplisit maupun kewajiban implisit.
Kewajiban eksplisit adalah kewajiban pemerintah yang didasarkan hukum dan kontrak, sehingga secara eksplisit pemerintah harus bertanggung jawab atas suatu peristiwa atau kejadian.
Ø  Resiko fiskal yang dihadapi oleh pemerintah pada saat ini antara lain adalah:
1.      Sensitivitas Asumsi Ekonomi Makro
Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Sertifikat Suku Bunga Indonesia (SSBI) 3 bulan (akan digantikan dengan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara), nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia, dan lifting minyak.
Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan bagi penghitungan besaran-besaran pendapatan, belana, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda denga asumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan ikut berubah. Oleh sebab itu, variasi indikator ekonomi makro merupakan salah satu resiko dalam APBN.
Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pandapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain mempengaruhi penerimaan pajak, terutama pph dan ppn. Pada sisi belanja negara, pertumbuhan ekonomi antara lain mempengaruhi besara nilai dana perimbangan dalam anggaran transfer ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak.
Penurunan nilai tukar rupiah (khususunya terhadap dolar Amerika Serikat) memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiyaan. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi nilai tukar rupiah antara lain akan mempengaruhi penerimaan minyak dan gas bumi (migas) dalam dominasi dolar Amerika Serikat serta PPh dan PPn. Pada sisi belanja negara, yang akan terpengaruh antar lain: belanja dalam mata uang asing; pembayaran bunga utang luar negeri; subsidi BBM dan listrik; dsb. Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang kan terkena dampak nya adalah: pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek; pembayaran cicilan pokok utang luar negeri; dan privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan  yang dilakukan dalam mata uang asing.
Perubahan tingkat suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan hanya akan berdampak pada sisi belanja. Dalam hal ini, peningkatan suku bunga SBI 3 bulan akan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang domestik. Sementara itu, harga minyak mentah Indonesia ( ICP) mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara dan penurunan lifting minyak domestik juga akan mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan pph migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan dan bagi hasil ke daerah.
2.      Resiko Utang Pemerintah
Salah satu aspek pengelolaan resiko fiskal adalah pengelolan resiko utang pemerintah. Pengelolaan resiko utang pemerintah sangat mempengaruhi kesinambungan fiskal pemerintah pada tahun berjalan dan masa yang akan datang. Pengelolaan resiko utang pemerintah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari  pengelolaan utang pemerintah. Resiko keuangan portofolio utang pemerintah sangat dipengaruhi oleh sejauhmana kemampuan kementrian keuangan mengelola manajemen utang. Strategi pengelolaan utang yang baik akan mampu mengurangi resiko utang pemerintah.
Secara umum , resiko utang Pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: resiko tingkat bunga (interest rate risk), resiko pembiayaan kembali (refinancing risk), dan resiko nilai tukar (exchange rate risk).
3.      Proyek pembangunan infrastruktur
Resiko fiskal yang terkait dengan proyek pembanguna infrastruktur berasal dari dukungan atau jaminan yang diberikan oleh pemerintah terhadap beerapa proyek percepatan pembangunan, seperti proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10 Mega Watt (MW), pembanguna jalan tol trans Jawa, pembanguna alan tol Jakarta Outer Ring Road II(JORR), Proyek MP3EI dan proyek pembangunan monorail Jakarta.
Resiko fiskal terkait dengan pembangunan infrastuktur tersebut adalah adanya jaminan pemerintah terhadap pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Apabila pelaksana proyek tersebut tidak mampu membayar kepada kreditur tepat waktu maka pemerintah harus memenuhi kewajiban pelakasana proyek tersebut. Pemenuhan kewajiban pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN.
4.      Resiko Badan Usaha Milik Negara
Perubahan nilai tukar, tingkat suku bunga dan harga minyak mentah akan menimbulkan dampak pada kinerja keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kontribusi BUMN terhadap APBN. Penurunan kontribusi ini merupakan bagian dari resiko fiskal yang bersumber dari BUMN.
5.      Sektor Keuangan
Resiko fiskal terkait dengan sektor keuangan diantaranya bersumber dari Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Resiko yang beasal dari Bank Indonesia. Berdasarkan UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah denga Undang-Undang No.3 tahun 2004 diatur bahwa modal Bank Indonesia paling sedikit Rp 2 triliun. Dala hal terjadi resiko fiskal atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang mengakibatkan modal tersebut menadi kurang dari Rp 2 triliun, maka pemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud yang dilaksanakan setelah mendapat persetuuan DPR.
Resiko dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), modal awal LPS ditetapkan paling sedikit Rp 4 triliun dan paling besar Rp 8 triliun. Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, pemerintah dengan persetujuan DPR akan menutupi.
6.       Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) Pegawai Negeri Sipil
Sumber resiko dari program ini adalah adanya sharing pembayaran pensiun antara APBN dan PT Taspen (Persero) sebesar 91:1. Pada tahun 2009 Pemerintah memperbaiki sharing APBN dala pembayaran pensiun sesuai dengan rencana pengembalian pola pendanaan pensiun secara bertahap menjadi 100 persen.
Adapun untuk program THT, beberapa kebijakan pemerintah antara lain kenaikan gaji pokok PNS dan perubahan formula perhitungan manfaat, menimbulkan resiko pada APBN, terkait dengan kekurangan pendanaan pemerintah.
7.      Desentralisasi Fiskal
Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan dengan tujuan untuk  mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dala sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun kebijakan desentralisasin perlu didukung dengan tersediana SDM yang mampu menyelenggarakan pengelolaan  keuangan daerah yang baik dan benar.
Tanpa dukungan tersebut, kebijakan ini dapat menimbulkan resiko yang berdampak tidak hanya pada keuangan Pemerintah Pusat tetapi juga pada keuangan pemerintah Daerah. Beberapa sumber resiko fiskal yang terkait dengan desentralisasi fiskal diantaranya adalah: pemekaran daerah, hord harmless, alokasi dana bagi hasil Sumber Daya Alam.
8.      Pemekaran Daerah
Penambahan daerah otonom baru memiliki dampak  terhadap ABPN yaitu pada: Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Alokasi Khusus (DAK); kebutuhan pada instansi vertikal. Setiap penambahan daerah otonom baru mengakibatkan menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah otonom lainnya. Apabila kebijakan hold harmless masih dipertahankan, penurunan alokasi DAU tersebut memberi konsekuensi kepada APBN untuk memberi dana penyesuaian.
Konsekunsi lain terhadap pemekaran daerah terhadap keuangan Negara adalah penambahan kantor-kantor untuk instansi vertika guna melakukan kegiatan pemerintah yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain pertahanan keamanan, agama, kehakiman, dan keuangan. Dan dibukanya kantor-kantor tersebut Pemerintah Pusat harus menyediakan dana untuk sarana dan prasarana gedung kantor, belanja pegawai dan berbagai dana operasional lainnya.
9.      Hold harmless
Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur bahwa pemberian  dana alokasu umum (DAU) ke daerah dilakukan berdasarkan suatu formula tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan perekonomian negara, kebijakan tersebut dikenal dengan istilah hold harmless.
Penentuan DAU untuk tahun-tahun selanjutnya di alokasikan murni berdasarkan formula tersebut ditentukan political will Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta DPR dalam upaya mengoptimalkan alokasi DAU bagi kepentingan seluruh daerah.
10.  Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan  antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan abagi hasil (DBH) disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun beralan. Oleh karena itu selama tahun anggaran berjalan terdapat potensi perbedaan antara DBH yang dialokasikan dalam APBN dengan realisasi. Apabila perhitungan realisasi DBH suatu daerah lebih tinggi daripada alokasi dalam APBN, pemerintah harus mentransfer selisih dana tersebut ke daerah yang bersangkutan.
11.  Resiko Fiskal Lainnya
Di samping resiko fiskal yang telah disebutkan di atas, APBN juga dihadapkan pada beberapa resiko fiskal lainnya antara lain disebabkan oleh dua hal: resiko tidak tercapainya penerimaan dan resiko terlampauinya pengeluaran APBN.

Ø  Pengelolaan Resiko Fiskal Oleh Pemerintah
a.       Kebijakan pengelolaan resiko fiskal
Menghadapi berbagai kemungkinan dan resiko terkait dengan kebijakan fiskal ang diambil, pemerintah telah mengambil lankag-langkah kebijakan, yajni dengan melakukan pengungkapan resiko fiskal pada nota keuangan dan pembentukan pusat pengelolaan resiko fiskal (PPRF). Pengungkapan resiko fiskal dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan peningkatan kesadaran seluruh stakeholder dalam pengelolaan kebijakan fiskal, meningkatkan keterbukaan fiskal, meningkatkan tanggung jawab, dan menciptakan kelangsungan fiskal.[7] PPRF ini berfungsi untuk melakukakan kajian resiko fiskal Pemerintahan Indonesia, baik pusat maupun daerah, pembentukan PPRF oleh Menteri Keuangan maksudkan untuk membantu Menteri Keuangan dalam pengelolaan resiko fiskal terutama terkait dengan masalah: perumusan kebijakan fiskal, pemberian dukungna pemerintah, serta penyiapan bahan negosiasi dan perjanjanjian kerjasama; analisis dan evaluasi pengelolaan resiko ekonomi, keuangan dan sosial, resiko BUMN dan resiko dukungan pemerintah; analisis dan evaluasi pengelolaan resiko fiskal terhadap pelaksanaa Public Service Obligation (PSO).
b.      Pengeolaan Resiko Terkait Perubahan Asumsi Makro Ekonomi
·         Pengelolaan Resiko Kurs
Sepanjang tahun anggaran 2014, nilai tukar rupiah terus melemah. Hingga Oktober nilai tukar rupiah berkisar di atas Rp 12.000 per dollar AS. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut tentunya akan meningkatkan subsidi BBM yang dapat menggerusi APBN. Untuk itu pemerintah berupaya mengendalikan fluktuasi nilai tukar rupiah dengan cara memotong subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi ( premium dan solar ) sebesar Rp 2.000 per liter. Selain itu pemerintah juga terus menekan tingkat inflasi serendah mungkin, menjaga stabilitas ekonomi, tingkat suku bunga,  politik, dan keamanan nasional serta mkenciptakan iklim investasi yang kondusif,
·         Pengelolaan resiko inflasi
Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan menurun sehingga standard hidup masyarakat juga menurun yang pada akhirnya menjadikan masyarakat miskin menjadi miskin. Inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam pengambilan keputusan, pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi domestic yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di Negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestic riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus mengalokasikan anggaran lain-lain sebagai bentuk mitigasi atas resiko ini. Alokasi anggaran ini salah satunya adalah untuk stabilisasi harga kebutuhan  melalui program pangan. Alternatif, yang dapat dilakukan antara lain dengan kegiatan operasi pasaran yang dapat dilakukan dengan melibatkan BUMN (yang profitable) CSR.
·         Pengelolaan resiko suku bunga
Tingkat suku bunga merupakan salah satu instrument dalam mengendalikan jumlah uang yang beredar yang berimplikasi pada tingkat inflasi. Pada Negara dengan tingkat kapasitas barang dan jasa yang masih berkembang pesat, tentunya memiliki tantangan tersendiri. Bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter harus menetapkan tingkat suku bunga yang tepat agar laju pertumbuhan ekonomi dapat di percepat dengan tingkat inflasi yang terkendali. Melihat tren setelah krisis dunia khususnya di Amerika, suku bunga akan masih ada pada tingkat level yang rendah, oleh karena itu laju pertumbuhan ekonomi sebesar sekitar 5% di tahun 2014 ini diharapkan bisa dicapai.
·         Pengelolaan resiko dan lifting minyak
Kenaikan harga minyak dunia menimbulkan imbas pada meningkatnya penerimaan Negara dari sektor migas, akan tetapi juga sekaligus mengakibatkan membengkaknya belanja Negara untuk subsidi BBM. Pada 2014 ini, walaupun harga minyak dunia menurun, namun tidak akan berpengaruh besar terhadap beban nilai impor maupun subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM). Sebab, depresiasi rupiah juga anjlok cukup dalam, sehingga meningkatkan subsidi BBM tersebut. mitigasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan resiko fiscal dengan minyak adalah meningkatkan lifting sektor minyak bumi dan gas, mengefesienkan cost recovery, dan efesien dari impor minyak, mengurangi konsumsi BBM dan mengembangkan sumber energio alternatif seperti gas dan bio diesel.
·         Pengelolaan resiko pertumbuhan ekonomi
Berdasarkan nota keuangan 2013, pertumbuhan ekonomi 2013 mencapai 6,35%, dan dengan melihat kondisi yang dihadapi sekarang ini, maka pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi pada level 5,12%. Dengan kata lain akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penurunan pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh unsure-unsur asumsi makro ekonomi yang lain seperti tingkat suku bunga dan inflasi. Oleh karena itu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut pemerintah telah mendorong perekonomian melalui upaya penekanan suku bunga dan inflasi, sehingga dapat terjadi peningkatan investasi, industry, daya saing ekspor, penguatan penyerapan belanja Negara, serta pemantapan ketahanan pangan dan energi. Selain itu, resiko melambatnya laju pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah dimitigasi dengan mengurangi subsidi BBM untuk meningkatkan belanja public infrastruktur, terutama jalan dan jembatan daerah yang tertinggal, melakukan program pemberdayaan masyarakat seperti Pogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), stimulasi fiscal untuk mengikuti kegiatan perekonomian, penciptaan investasi iklim yang mudah dan kondusif.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengeloaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sesuai dengan ketentuan, masing-masing K/L sejak awal tahun anggaran mulai menyusun suatu rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencana strategis K/L, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada tahun anggaran dimaksud.
Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penepata APBN setiap tahun

Isu kesinambungan fiskal menjadi penting. Selain ia juga menjadi dasar bagi kestabilan makro-ekonomi jangka pendek. Kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas.

Cebotari, Aliona, dkk mendefinisikan resiko fiskal adalah kemungkinan penyimpangan dalam variabel-variabel fiskal dari apa yang diharapkan pada saat penyusunan anggaran maupun perkiraaan lainnya. Sumber resiko fiskal terutama berasal dari guncangan ekonomi makro dan realisasi kewajiban kontinjensi.



DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-PokokHukumTataNegara Indonesia PascaReformasi. (Jakarta: BIP. 2007). hal. 807-888
Fatullah Yoesof. Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: Idea Press, 2013)
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/20260-risiko-fiskal-yang-dihadapi-pemerintah-dan-strategi-pengelolaannya-guna-menjamin-pembangunan-ekonomi-yang-berkesinambungan


[1] Asshiddiqie, Jimly, Pokok-PokokHukumTataNegara Indonesia PascaReformasi. (Jakarta: BIP. 2007). hal. 807-888

[2] Fatullah Yoesof. Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: Idea Press, 2013)
[3] https://id-id.facebook.com/Kemdikbud.RI/posts/596735373769240
[4] Fatullah Yoesof. Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: Idea Press, 2013).
[5] http:://risikofiskal.blogspot.co.id/2011/12/aqpa-itu-risiko-fiskal
[6] Yoesof, Fatullah.2013.Fiskal dan Moneter.Yogyakarta:Idea Press.
[7] http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/20260-risiko-fiskal-yang-dihadapi-pemerintah-dan-strategi-pengelolaannya-guna-menjamin-pembangunan-ekonomi-yang-berkesinambungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar