Minggu, 16 April 2017

Rukun dan Syarat jual Beli Murabahah

RUKUN DAN SYARAT  JUAL BELI MURABAHAH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliyah: Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.HI., M.SI




                                                                                                  

Disusun Oleh:
1.       Sinta Puspita Sari      (1502100123)






Kelas B
PROGRAM STUDI S1PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016

PENDAHULUAN

Agama islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya, mengatur hubungan seseorang hamba dengan tuhannya yang bisa di sebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesama. Inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam islam yang dikenal dengan Fiqih Muamalah. Aspek kajianny6a adalah sesuatu y6ang berhubungan dengan muamalah atu antara umat satu dengan umat lainnya mula dari jual beli, sewa menyawa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan sipembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh dua belah pihak. Jika jaman dulu transaksi ini dilakukan langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka mpada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada suatu ruang saja dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli  menurut Fiqih Muamalah? Apa saj syaratnya? Lalu apakah jual beli yang di praktekkan pada zaman sekarang sah menurut Fiqih Muamalah? Tentu ini akan menjadi pembahasan yang menarik unjtuk di kaji.[1]

















A.    Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
Agar jual beli sah dan halal, transaksi yang berlangsung haruslah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun adalah sesuatu yang harus didalam transaksi, sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi dalam rukun tersebut,.rukun dan syarat jual beli murabahah adalah sebagai berikut:

a.    Pihak yang berakat (al-‘aqid)
Yang dimaksud dengan pihak yang berakad (al-‘qid) adalah penjual pembeli, adapun syarat pihak yang berakad adalah.
1.    Berakal, oleh sebab itu jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal danorang gila, hukumnya tidak sah.[2] Namun jika transaksi jual beli dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayiz dianggap sah, tetapi tergantung pada izin walinya jika walinya memperbolehkan maka transaksi dianggap sah.[3]
2.    Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual dan pembeli.[4]

b.    Objek akad, yaitu barang harga (ma’qud’alaih).
Untuk melengkapi keabsahan jual beli, barang atau harga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Barang itu ada. Atau tidak ada ditempat,mtetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
2.    Dapat dimanfaatkan dan  bermanfaat untuk manusia.
3.    Milik penjual. Barang yang sufatnya belum dimiliki   penjual tidak  oleh diperjual belikan ikan dilaut atau emas di dalam tanah, karna ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.
4.    Boleh diserahkan langsung atau pada waktu yang di sepakati bersaama ketika transaksi berlangsung.[5]
5.    Diketahui keadaan jenis (kuantitas dan kualitas) dan harganya.
Jika keduanya atau salah satunya tidak diketahui, jual beli menjadi tidak sah dan batal, karna terdapat unsur ketidakpastian atau ketidak jelasan (gharar). Cara mengetahui barang yang di perjual belikan adalah cukup dengan melihatnya dengan nyata, meski tidak di ketahui kuantitasnya, sebagaimana dalam jual beli juzaf (jual beli yang  bisa ditakar dan di taksir, namun tidak ditakr dan ditaksir). Adapun jual beli barang yang masih berada di tanggungan, kualitas dan kuantitasnhya harus diketahuioleh kedua pihak pelaku transaksi. Jika menjual barang yang tidak ada ditempat transaksi, maka syaratnya, kualitas dan kuantitasnya digambarkan, jual beli menajdi sah. Tetapi jika berbeda. Si calon pembeli atau si penjual di perbolehkan memilih antara meneruskan transaksi atau membatalkannya.[6]
6.    Barang yang diperjual belikan harus ada di genggaman
Masalah ini memiliki sejumlah perincian sebagai berikut:
            Memperbolehkan meperjual belikan sesuatu yang belum menjadi milik sepenuhnya, tetapi dengan syarat memberi ganti terlebuh dahulu atas barang yang diperjual belikan tersebut sebelum dan sesudah barang diterima. Orang yang membeli suatu barang juga diperbolehkan menjual kembali barang itu, menghibahkan, atau mengelolanya, jika barang tersebut sudah diterimanya. Jika barang tersebut belum diterima olehnya, ia tetap boleh mengelolanya dengan segala bentuk yang disyaratkan kecuali memperjual belikannya, jadi memperjual belikan barang sebelum diterimanya, diperbolehkan.[7]

c.    Shighat (ijab dan qabul)
Diantara syarat –syarat Shighat adalah
a.    Tidak ada masa tenggang terlalu lama antara ijab dan qabul.
b.    Adanya kesepakatan.
c.    Adanya hubungan kedua belah pihak.
d.    Tidak adanya perubahan akad.[8]



Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
            Rukun jual beli murabahah sama halnya  dengan jual beli pada umumnya, yaitu adanya pihak penjual, pihak pembeli, harga dan akad atau ijab qabul. Sementara syarat murabahah daalah:
            Pertama, syarat yang terkait dengan sigat atau akad. Akad harus jelas, baik ijab maupun qabul. Dalam akd harus ada kesesuaian anatar ijab dan qabul, dan kesinambungan antara keduanya. Syarat dan sah jual beli murabahah yaitu:
1.    Akad jual beli yang pertama harus sah.
2.    Pertama harus mengetahui harga awal barang yang menjadi objek jual beli.
3.    Barang menjadi objek jual beli murabahah merupakan komoditas mistil atau ada padanannya serta dapat diukur, di takar, di timbang atau jelas ukurannya, kadar dan jenisnya. Tidak di perbolehkan keuntungan merupakan barang yang sejenis dengan objek jual beli, Seperti beras dengan beras, emas dengan emas dan sebagainya..
4.    Jual beli pada akad yang pertama bukan bukan barter abrang dengan barang ribawi yang tidak boleh ditukar dengan barang sejenis. Barang ribawi mwnurut ulamak malikiyah adalah makanan yang dapat memberikan energi, menurut syafi’iah adalah  semua barang yang dapat dikonsumsi, sementara menurut kalangan hanafiah dan hambaliah setiap komoditas yang ditakar dan atau di timbang. Kalangan ulama 4 mashab ini sepakat bahwa emas dan perak atau barang lain sejenis merupakan barang ribawi.  Dengan demikian, barang-barang ribawi tidak dapat diperjual belikan dengan murabahah, misalnya tukar menukar dngan beras atau emas debgan emas dimana jumlah salah satu pihak lebih banyak, baik takaran atau timbangan nya maka tidak boleh. Dan hal ini bukan jual beli murabahah.
5.    Keuntungan atau laba harus diketahui masing-masing pihak yang bertransaksi, baik penjual atau pembeli, apabila keuntungan tidak diketahui oleh pembeli maka tidak dapat dikatakan sebagai jual beli murabahah.
Selain syarat-syarat di atas, dalam kitab bada’i al sanai’ di sebutkan syarat lain, bahwa dalam jual beli murabahah, akad pada jual beli yang pertama harus akad atau transaksi yamg sah. Dalam hal ini al-kassanai mengatakan.
“salah satu syarat jual beli murabahah adalah akad yang pertama harus akad yang sah, apabila akad yang pertama rusak, maka jual beli murabahah tidak boleh, karena jual beli murabahah adalah jual beli dengan mengambil keuntungan, yaitu modal awal plus laba.”
Zakaria al-ansari, dalam kitab asna al-matalib menyebutkan bahwa masing-masing pihak harus mengetahui secara spesifik tentang ukuran dan jenis barang. Artinya, jenis, ukuran dan jumlah barang harus diketahui oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

Secara singkat, syarat-syarat jual beli murabahah adalah sebagai berikut.
1.    Para pihak yang berakat harus cakap hukum tidak dalam keadaan terpaksa .
2.    Barang yang menjadi objek transaksi adalah barang yang halal serta jenis ukuran, jenis dan jumlahnya.
3.    Harga barng harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan mekanisme pembayarannya disebutkan dengan jelas.
4.    Pernyataan serah terima dalam ijab qobul harus dijelaskan dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang terlibat yang berakad.[9]
Wahab Az zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu di syaratkan beberapa hal yaitu:
a.    Mengetahui harga rokok
dalam jual beli murabahah di isaratkan mengetahui harga rokok atau harga asal , karna mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
b.    Mengetahui keuntungan
Hendaknya margin keuntungannya diketahui pembeli, kana margin keuntungannya tersebut termasuk bagian dari harga.
c.    Harga pokok merupakak sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual yang pertama atau setelahnya.[10]
Syarat al-Murabahah
1.    Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2.    Kontrak yang pertama harus sah dengan rukun yang ditentukan.
3.    Kontrak harus bebas dari riba.
4.    Penjual harus menjelaskan pada pembeli bila terjadi cacat atas barabg sesudah pembeli.
5.    Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam a.d.e tidak dipenuhi, pembeli memilii pilihan:
a.    Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b.    Kembali pada penjual dan menyatakan tidak setuju atas barang yang dijual.
c.    Membatalkan kontrak.[11]
Tekhnis perbankan
1.    Bank bertindak sebagai penjual sedangkan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari rodusen (pabrik atau toko) ditambah keuntungan kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
2.    Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlaku akad. Dalam perbankakan murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan.
3.    Dalam transaksi inibila sudah ada barang diserahkan segera pada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.[12]

B.    Kesimpulan

Agar jual beli sah dan halal, transaksi yang berlangsung haruslah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun adalah sesuatu yang harus didalam transaksi, sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi dalam rukun tersebut,
Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
            Rukun jual beli murabahah sama halnya  dengan jual beli pada umumnya, yaitu adanya pihak penjual, pihak pembeli, harga dan akad atau ijab qabul. Sementara syarat murabahah daalah:
Pertama, syarat yang terkait dengan sigat atau akad. Akad harus jelas, baik ijab maupun qabul. Dalam akd harus ada kesesuaian anatar ijab dan qabul, dan kesinambungan antara keduanya.
Dalam kitab bada’i al sanai’ di sebutkan syarat lain, bahwa dalam jual beli murabahah, akad pada jual beli yang pertama harus akad atau transaksi yamg sah.


















DAFTAR PUSTAKA

Nasrudin Haroen, 2009, fiqih muamalah Jakarta: Gaya Media Prtama,
Abdul Rohman, dkk, 2008, Fiqih Muamalah Jakarta: Kharisma Putra Utama
Sohari Sabrani, 2011, Fiqih Muamalah Bogor: Ghalia indonesia
Ahmad Tirmizi, dkk, Ringkasan Fiqih Sunah Sayyid Sabiq
Syaiyad Ahmad Bin Umar Asatthiri, al- Yaqutun An-Nafis, Surabaya: Al-Hidayah
Imam Mustofa, 2016, Fiqih Muamalah Konteporer, Jakarta: Rajawali Pres
Wahab Azuhaili, Sebagaimana dikutip oleh: Tri Setiady, 2014, pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Fiqiqh Islam, Hukum Positif dan Hukum Syariah”, dalam jurnal Ilmu hukum, Volume 8 Nomor 1, Juli-September (517-530)
Dr. MuhammadSyafi’i Antonio, M.Ec. 2001, Bank Syariah jakarta: gema Insani,
Heri Sudarsono. 2003, Bank Dan lembaga Keuangan Syari’ah Yogyakarta: Ekonosia
Hendi  Suhendi, 1997,  Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 26.



[1] Hendi  Suhendi, 1997,  Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 26.

[2] Nasrudin Haroen, fiqih muamalah (Jakarta: Gaya Media Prtama, 2009), hal. 115
[3] Abdul Rohman, dkk, Fiqih Muamalah (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hal. 72
[4] ibid
[5] ibid
[6] Sohari Sabrani, Fiqih Muamalah (Bogor: Ghalia indonesia, 2011), hal. 70
[7] Ahmad Tirmizi, dkk, Ringkasan Fiqih Sunah Sayyid Sabiq, hal. 755
[8] Syaiyad Ahmad Bin Umar Asatthiri, al- Yaqutun An-Nafis, (Surabaya: Al-Hidayah), hal 74
[9] Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Konteporer, (Jakarta: Rajawali Pres, 2016), hal. 71
[10] Wahab Azuhaili, Sebagaimana dikutip oleh: Tri Setiady, pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Fiqiqh Islam, Hukum Positif dan Hukum Syariah”, dalam jurnal Ilmu hukum, Volume 8 Nomor 1, Juli-September 2014, (517-530), hal.521
[11] Dr. MuhammadSyafi’i Antonio, M.Ec. Bank Syariah (jakarta: gema Insani, 2001), hal. 102
[12] Heri Sudarsono. Bank Dan lembaga Keuangan Syari’ah (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), hal. 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar