RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI MURABAHAH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliyah: Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.HI.,
M.SI
Disusun Oleh:
1. Sinta Puspita
Sari (1502100123)
Kelas B
PROGRAM STUDI S1PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2016
PENDAHULUAN
Agama islam mengatur
setiap segi kehidupan umatnya, mengatur hubungan seseorang hamba dengan
tuhannya yang bisa di sebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan
dengan sesama. Inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam islam yang
dikenal dengan Fiqih Muamalah. Aspek kajianny6a adalah sesuatu y6ang
berhubungan dengan muamalah atu antara umat satu dengan umat lainnya mula dari
jual beli, sewa menyawa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan jual
beli. Si penjual menjual barangnya, dan sipembeli membelinya dengan menukarkan
barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh dua belah pihak.
Jika jaman dulu transaksi ini dilakukan langsung dengan bertemunya kedua belah
pihak, maka mpada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada suatu
ruang saja dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua
belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya
bagaimana pengertian jual beli menurut
Fiqih Muamalah? Apa saj syaratnya? Lalu apakah jual beli yang di praktekkan
pada zaman sekarang sah menurut Fiqih Muamalah? Tentu ini akan menjadi
pembahasan yang menarik unjtuk di kaji.[1]
A.
Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
Agar jual
beli sah dan halal, transaksi yang berlangsung haruslah memenuhi rukun dan
syarat jual beli. Rukun adalah sesuatu yang harus didalam transaksi, sedangkan
syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi dalam rukun tersebut,.rukun dan
syarat jual beli murabahah adalah sebagai berikut:
a.
Pihak yang berakat (al-‘aqid)
Yang
dimaksud dengan pihak yang berakad (al-‘qid) adalah penjual pembeli, adapun
syarat pihak yang berakad adalah.
1.
Berakal, oleh sebab itu jual beli yang dilakukan anak
kecil yang belum berakal danorang gila, hukumnya tidak sah.[2] Namun jika transaksi jual
beli dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayiz dianggap sah, tetapi
tergantung pada izin walinya jika walinya memperbolehkan maka transaksi
dianggap sah.[3]
2.
Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai
penjual dan pembeli.[4]
b.
Objek akad, yaitu barang harga (ma’qud’alaih).
Untuk
melengkapi keabsahan jual beli, barang atau harga harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1.
Barang itu ada. Atau tidak ada ditempat,mtetapi pihak
penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
2.
Dapat dimanfaatkan dan
bermanfaat untuk manusia.
3.
Milik penjual. Barang yang sufatnya belum dimiliki penjual tidak oleh diperjual belikan ikan dilaut atau emas
di dalam tanah, karna ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.
4.
Boleh diserahkan langsung atau pada waktu yang di
sepakati bersaama ketika transaksi berlangsung.[5]
5.
Diketahui keadaan jenis (kuantitas dan kualitas) dan
harganya.
Jika keduanya atau salah satunya tidak
diketahui, jual beli menjadi tidak sah dan batal, karna terdapat unsur
ketidakpastian atau ketidak jelasan (gharar). Cara mengetahui barang yang di
perjual belikan adalah cukup dengan melihatnya dengan nyata, meski tidak di
ketahui kuantitasnya, sebagaimana dalam jual beli juzaf (jual beli yang bisa ditakar dan di taksir, namun tidak
ditakr dan ditaksir). Adapun jual beli barang yang masih berada di tanggungan,
kualitas dan kuantitasnhya harus diketahuioleh kedua pihak pelaku transaksi.
Jika menjual barang yang tidak ada ditempat transaksi, maka syaratnya, kualitas
dan kuantitasnya digambarkan, jual beli menajdi sah. Tetapi jika berbeda. Si
calon pembeli atau si penjual di perbolehkan memilih antara meneruskan
transaksi atau membatalkannya.[6]
6.
Barang yang diperjual belikan harus ada di genggaman
Masalah ini memiliki sejumlah
perincian sebagai berikut:
Memperbolehkan
meperjual belikan sesuatu yang belum menjadi milik sepenuhnya, tetapi dengan
syarat memberi ganti terlebuh dahulu atas barang yang diperjual belikan
tersebut sebelum dan sesudah barang diterima. Orang yang membeli suatu barang
juga diperbolehkan menjual kembali barang itu, menghibahkan, atau mengelolanya,
jika barang tersebut sudah diterimanya. Jika barang tersebut belum diterima
olehnya, ia tetap boleh mengelolanya dengan segala bentuk yang disyaratkan
kecuali memperjual belikannya, jadi memperjual belikan barang sebelum
diterimanya, diperbolehkan.[7]
c.
Shighat (ijab dan qabul)
Diantara syarat –syarat Shighat adalah
a.
Tidak ada masa tenggang terlalu lama antara ijab dan
qabul.
b.
Adanya kesepakatan.
c.
Adanya hubungan kedua belah pihak.
d.
Tidak adanya perubahan akad.[8]
Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
Rukun
jual beli murabahah sama halnya dengan
jual beli pada umumnya, yaitu adanya pihak penjual, pihak pembeli, harga dan
akad atau ijab qabul. Sementara syarat murabahah daalah:
Pertama,
syarat yang terkait dengan sigat atau akad. Akad harus jelas, baik ijab maupun
qabul. Dalam akd harus ada kesesuaian anatar ijab dan qabul, dan kesinambungan
antara keduanya. Syarat dan sah jual beli murabahah yaitu:
1.
Akad jual beli yang pertama harus sah.
2.
Pertama harus mengetahui harga awal barang yang menjadi
objek jual beli.
3.
Barang menjadi objek jual beli murabahah merupakan
komoditas mistil atau ada padanannya serta dapat diukur, di takar, di timbang
atau jelas ukurannya, kadar dan jenisnya. Tidak di perbolehkan keuntungan
merupakan barang yang sejenis dengan objek jual beli, Seperti beras dengan
beras, emas dengan emas dan sebagainya..
4.
Jual beli pada akad yang pertama bukan bukan barter
abrang dengan barang ribawi yang tidak boleh ditukar dengan barang sejenis.
Barang ribawi mwnurut ulamak malikiyah adalah makanan yang dapat memberikan
energi, menurut syafi’iah adalah semua
barang yang dapat dikonsumsi, sementara menurut kalangan hanafiah dan hambaliah
setiap komoditas yang ditakar dan atau di timbang. Kalangan ulama 4 mashab ini
sepakat bahwa emas dan perak atau barang lain sejenis merupakan barang
ribawi. Dengan demikian, barang-barang
ribawi tidak dapat diperjual belikan dengan murabahah, misalnya tukar menukar
dngan beras atau emas debgan emas dimana jumlah salah satu pihak lebih banyak,
baik takaran atau timbangan nya maka tidak boleh. Dan hal ini bukan jual beli
murabahah.
5.
Keuntungan atau laba harus diketahui masing-masing pihak
yang bertransaksi, baik penjual atau pembeli, apabila keuntungan tidak
diketahui oleh pembeli maka tidak dapat dikatakan sebagai jual beli murabahah.
Selain syarat-syarat di atas, dalam
kitab bada’i al sanai’ di sebutkan syarat lain, bahwa dalam jual beli
murabahah, akad pada jual beli yang pertama harus akad atau transaksi yamg sah.
Dalam hal ini al-kassanai mengatakan.
“salah satu syarat jual beli murabahah
adalah akad yang pertama harus akad yang sah, apabila akad yang pertama rusak,
maka jual beli murabahah tidak boleh, karena jual beli murabahah adalah jual
beli dengan mengambil keuntungan, yaitu modal awal plus laba.”
Zakaria al-ansari, dalam kitab asna
al-matalib menyebutkan bahwa masing-masing pihak harus mengetahui secara
spesifik tentang ukuran dan jenis barang. Artinya, jenis, ukuran dan jumlah
barang harus diketahui oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Secara singkat, syarat-syarat jual
beli murabahah adalah sebagai berikut.
1.
Para pihak yang berakat harus cakap hukum tidak dalam
keadaan terpaksa .
2.
Barang yang menjadi objek transaksi adalah barang yang
halal serta jenis ukuran, jenis dan jumlahnya.
3.
Harga barng harus dinyatakan secara transparan (harga
pokok dan komponen keuntungan) dan mekanisme pembayarannya disebutkan dengan
jelas.
4.
Pernyataan serah terima dalam ijab qobul harus dijelaskan
dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang terlibat yang berakad.[9]
Wahab Az zuhaili mengatakan bahwa
dalam jual beli murabahah itu di syaratkan beberapa hal yaitu:
a.
Mengetahui harga rokok
dalam jual
beli murabahah di isaratkan mengetahui harga rokok atau harga asal , karna
mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
b.
Mengetahui keuntungan
Hendaknya
margin keuntungannya diketahui pembeli, kana margin keuntungannya tersebut
termasuk bagian dari harga.
c.
Harga pokok merupakak sesuatu yang dapat diukur, dihitung
dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual yang pertama
atau setelahnya.[10]
Syarat al-Murabahah
1.
Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2.
Kontrak yang pertama harus sah dengan rukun yang
ditentukan.
3.
Kontrak harus bebas dari riba.
4.
Penjual harus menjelaskan pada pembeli bila terjadi cacat
atas barabg sesudah pembeli.
5.
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan
dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam
a.d.e tidak dipenuhi, pembeli memilii pilihan:
a.
Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b.
Kembali pada penjual dan menyatakan tidak setuju atas
barang yang dijual.
c.
Membatalkan kontrak.[11]
Tekhnis perbankan
1.
Bank bertindak sebagai penjual sedangkan nasabah sebagai
pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari rodusen (pabrik atau toko)
ditambah keuntungan kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran.
2.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika
telah disepakati tidak dapat berubah selama berlaku akad. Dalam perbankakan
murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan.
3.
Dalam transaksi inibila sudah ada barang diserahkan
segera pada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.[12]
B.
Kesimpulan
Agar jual beli sah dan halal,
transaksi yang berlangsung haruslah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun
adalah sesuatu yang harus didalam transaksi, sedangkan syarat adalah sesuatu
yang harus terpenuhi dalam rukun tersebut,
Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
Rukun
jual beli murabahah sama halnya dengan
jual beli pada umumnya, yaitu adanya pihak penjual, pihak pembeli, harga dan
akad atau ijab qabul. Sementara syarat murabahah daalah:
Pertama, syarat yang terkait dengan
sigat atau akad. Akad harus jelas, baik ijab maupun qabul. Dalam akd harus ada
kesesuaian anatar ijab dan qabul, dan kesinambungan antara keduanya.
Dalam kitab bada’i al sanai’ di
sebutkan syarat lain, bahwa dalam jual beli murabahah, akad pada jual beli yang
pertama harus akad atau transaksi yamg sah.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasrudin Haroen,
2009, fiqih muamalah Jakarta: Gaya Media Prtama,
Abdul Rohman, dkk, 2008,
Fiqih Muamalah Jakarta: Kharisma Putra Utama
Sohari Sabrani, 2011,
Fiqih Muamalah Bogor: Ghalia indonesia
Ahmad Tirmizi, dkk,
Ringkasan Fiqih Sunah Sayyid Sabiq
Syaiyad Ahmad Bin
Umar Asatthiri, al- Yaqutun An-Nafis, Surabaya: Al-Hidayah
Imam Mustofa, 2016, Fiqih
Muamalah Konteporer, Jakarta: Rajawali Pres
Wahab Azuhaili,
Sebagaimana dikutip oleh: Tri Setiady, 2014, pembiayaan Murabahah dalam
Perspektif Fiqiqh Islam, Hukum Positif dan Hukum Syariah”, dalam jurnal Ilmu
hukum, Volume 8 Nomor 1, Juli-September (517-530)
Dr. MuhammadSyafi’i
Antonio, M.Ec. 2001, Bank Syariah jakarta: gema Insani,
Heri
Sudarsono. 2003, Bank Dan lembaga Keuangan Syari’ah Yogyakarta: Ekonosia
Hendi Suhendi, 1997, Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada), hlm. 26.
[1]
Hendi Suhendi, 1997, Fiqh Muamalah,. (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada), hlm. 26.
[2]
Nasrudin Haroen, fiqih muamalah (Jakarta:
Gaya Media Prtama, 2009), hal. 115
[3]
Abdul Rohman, dkk, Fiqih Muamalah (Jakarta:
Kharisma Putra Utama, 2008), hal. 72
[4]
ibid
[5]
ibid
[6]
Sohari Sabrani, Fiqih Muamalah (Bogor:
Ghalia indonesia, 2011), hal. 70
[7]
Ahmad Tirmizi, dkk, Ringkasan Fiqih Sunah
Sayyid Sabiq, hal. 755
[8]
Syaiyad Ahmad Bin Umar Asatthiri, al-
Yaqutun An-Nafis, (Surabaya: Al-Hidayah), hal 74
[9]
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Konteporer, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2016), hal. 71
[10]
Wahab Azuhaili, Sebagaimana dikutip oleh: Tri Setiady, pembiayaan Murabahah
dalam Perspektif Fiqiqh Islam, Hukum Positif dan Hukum Syariah”, dalam jurnal
Ilmu hukum, Volume 8 Nomor 1, Juli-September 2014, (517-530), hal.521
[11]
Dr. MuhammadSyafi’i Antonio, M.Ec. Bank Syariah (jakarta: gema Insani, 2001),
hal. 102
[12]
Heri Sudarsono. Bank Dan lembaga Keuangan Syari’ah (Yogyakarta: Ekonosia,
2003), hal. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar